Pondasi berdirinya Republik Indonesia mengakar ke setiap inci tanah gembur dengan identitas nasional yang berbuah dalam berbagai wujud: hukum, ideologi, bentuk negara, dsb. Maka, ada pula sistem & prinsip ekonomi yang turut menjadi pilar penting dalam lahirnya republik ini.
Segala hal yang kita dirikan menjadi ciri khas akan diri kita—dari kita, oleh kita, dan untuk kita. Corak ekonomi pun diselaraskan dengan jiwa bangsa Indonesia; budaya, kepercayaan, dan sejarah panjangnya. Kita melahirkan sebuah kekhasan dalam perekonomian yang berbeda dari kapitalisme maupun sosialisme: sebuah sistem di mana semangat kerja dan kolektivitas bangsa Nusantara dilebur menjadi satu forum bernama: Koperasi.
Source: BAMS EDU |
Tepatnya di Kota Tasikmalaya, tahun 1947, digelar Kongres Nasional Pertama yang menjadi tonggak gerakan koperasi di Indonesia. Hal ini juga tercatat dalam buku ‘Garis-Garis Besar Rectjana Pembangunan Lima Tahun 1956–1960’, terbitan Biro Perantjang Negara. Kongres tersebut memutuskan pembentukan SOKRI (Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia), sekaligus menetapkan pengurusnya.
Kenapa Tasikmalaya yang menjadi lokasi kongres? Karena rencana awalnya adalah di Bandung, namun kota itu kembali diduduki oleh Belanda tak lama setelah kemerdekaan. Dan meskipun kita mengenal Moh. Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia, gelar itu baru resmi diberikan dalam Kongres Kedua, 15–17 Juli 1953, karena kontribusi besar Bapak Proklamator Indonesia ini bagi perkembangan perekonomian Indonesia. Hal itu juga berkat pidato Hatta pada peringatan Hari Koperasi Nasional pada 12 Juli 1951.
Oke cukup dasar sejarahnya, sekarang kembali ke ekosistem negara dan masyarakat Indonesia hari ini. Banyak dari kita mengasosiasikan koperasi secara sempit—sekadar lembaga pertokoan di sekolah, desa, atau perkantoran. Atau sebatas koperasi simpan pinjam, koperasi karyawan, dan sejenisnya.
Padahal koperasi memiliki cakupan yang jauh lebih luas, tidak hanya sekedar toko kelontong, tapi secara spesifik memiliki fungsi yang sama dengan roda perekonomian modern saat ini; Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen, dan Koperasi Jasa. Dengan begitu, koperasi semestinya menjadi studi kasus penting: bisakah koperasi menjadi model sistem ekonomi makro Indonesia?
Koperasi bukan BUMS (swasta), bukan pula BUMN (negara). Namun posisinya dijamin konstitusi. Dalam Pasal 33 UUD 1945 disebutkan:
Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Ingat! ‘oleh Negara’, Yaitu komposisi antara rakyat dan pemerintahan, ini sudah menjadikan standar sah bahwa makna dari “usaha bersama” adalah bahwa jalannya ekonomi berdasarkan kehendak kolektif antara rakyat dan pemerintahan. Maka dalam konteks ini, koperasi sudah memenuhi standar sah sebagai bentuk perekonomian nasional.
Namun seiring perjalanan, keabu-abuan dan ketidakkonsistenan arah ekonomi Indonesia mulai tampak, terutama sejak masa reformasi. Keterbukaan dan independensi dijadikan mantra utama—seperti Perestroika dan Glasnost milik Soviet, menuntut Indonesia ke jalan pasar bebas sehingga terpaksa bersaing dengan struktural dan ekosistem ekonominya seadanya.
Tapi kita masih bernafas lega, selagi Indonesia berdiri diantara dua kutub dunia, maka kita masih memiliki ciri khas sendiri dalam perekonomian. Indonesia dikenal memiliki sistem Ekonomi hybrid atau Sistem Demokrasi Ekonomi (Dawam Raharjo, 1997: xii).
Sistem demokrasi ekonomi yang merupakan penjabaran dari pasal 33 UUD’45 secara jelas menyebutkan bahwa pengelolaan kegiatan ekonomi harus dilaksanakan secara kekeluargaan. Bentuk badan ekonomi yang paling cocok dengan sistem demokrasi ekonomi ini adalah koperasi (Sugiharsono, 2009).
Ditegaskan kembali pula bahwa sejatinya bukan berarti demokrasi ekonomi sama dengan koperasi, menurut Razzan, Mahasiswa S1 Ekonomi Bursa UludaÄŸ University, bahwa koperasi ini adalah suatu model ekonomi dan bukan sistem, tetapi model ekonomi koperasi ini sangat cocok diterapkan kepada negara yang menganut ekonomi hybrid, bukan kepada kapitalistik atau sosialistik, karena menyesuaikan dengan kontur budaya masyarakat dan juga keselarasan otonomi pasar di suatu negara.
Source: CNBC Indonesia |
Dalam kata lain untuk pelurusan makna, bahwa Indonesia sudah bisa menganut nilai-nilai fundamental koperasi dengan baik dalam sistem demokrasi ekonomi, yaitu usaha bersama berasas kekeluargaan. Koperasi dan demokrasi ekonomi bukanlah suatu ideologi tertulis dengan isme-ismenya, koperasi pun juga bukanlah sistem resmi Indonesia, tapi cukup value yang diterapkan oleh masyarakat dan negara dalam roda perekonomian bersama, Ini menjadikan bahwa implementasi nilai berjalan cukup baik dalam mekanika sistem.
Dengan segala macam dinamika kehidupan modern perekonomian negara Indonesia saat ini, kita tak bisa lepas dari nilai-nilai fundamental dan ciri khas yang sudah melekat dengan jati diri bangsa. Pada akhirnya kita akan dan harus kembali ke akar itu. Bung Hatta sendiri berpesan bahwa koperasi adalah jalan dan bentuk yang sangat cocok dan berdasarkan pada budaya, keadaan, dan kepercayaan Masyarakat Indonesia. Dalam pidatonya di Hari Peringatan Koperasi, 12 Juli 1951, di Tasikmalaya, juga berkata:
"Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong."
Penulis: Elang Muhammad Tzar Kusumah Jannata
Editor: Muhammad Rangga Argadinata