Bayang-Bayang Kapitülasyon Ottoman dan Ekonomi Indonesia Pasca Tarif Trump 19%

Banyak orang membayangkan perdagangan global sebagai arena yang adil dan bebas. Sayangnya, realitasnya tidak sesederhana itu. Perdagangan dunia selalu diwarnai tarik-menarik kepentingan, politik kekuasaan, dan posisi tawar yang timpang.

Salah satu contohnya adalah kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap produk Indonesia. Pada saat pertama kali kebijakan tarif pajak ini berlaku, berbagai produk ekspor Indonesia seperti tekstil, karet, hingga sepatu dikenai tarif tinggi hingga 32%. Setelah beberapa negosiasi, tarif ini memang diturunkan menjadi 19%. Namun, angka ini tetap menjadi beban besar bagi produk-produk Indonesia di pasar Amerika.

Di sisi lain, barang dari Amerika Serikat justru bisa masuk ke Indonesia dengan tarif nyaris nol persen. Inilah yang menciptakan pola ketimpangan dagang yang menguntungkan pihak yang lebih kuat secara ekonomi dan politik.

Fenomena ini seakan mengingatkan kita pada peristiwa sejarah yang pernah dialami Kesultanan Ottoman, yaitu adanya kebijakan Kapitülasyon. Sejak abad ke-16, Kesultanan Ottoman membuka pintu bagi pedagang Eropa melalui sebuah perjanjian yang dikenal dengan istilah Kapitülasyon. Kapitülasyon sendiri berarti hak dan privilese ekonomi, hukum, dan administratif yang diberikan kepada orang asing di wilayah Kesultanan Ottoman.

Sumber: yeniankara.com.tr

Awalnya, perjanjian ini bersifat diplomatik dan dianggap saling menguntungkan. Namun, seiring waktu, Kapitülasyon berubah menjadi instrumen ketimpangan ekonomi, di mana pihak dengan ekonomi yang lebih kuat mendapatkan keuntungan dari kapitulasi tersebut, sementara pihak dengan ekonomi yang lebih lemah dirugikan oleh kapitulasi tersebut.

Negara-negara Eropa, seperti Perancis dan Inggris mendapat hak istimewa, seperti barang-barang mereka yang masuk ke wilayah Ottoman tidak akan dikenai tarif tinggi, bahkan nyaris bebas bea cukai. Sementara itu, produk lokal Ottoman—yang sebagian besar berbasis pertanian, sedangkan di basis lain masih rendah—kalah saing di pasar sendiri. Industri dalam negeri melemah dan perlahan-lahan ekonomi Ottoman menjadi tergantung pada barang impor.

Kapitülasyon menjadi bukti bahwa perdagangan internasional tidak pernah sepenuhnya netral. Siapa yang kuat secara politik dan militer, dialah yang menentukan aturan mainnya. Pertanyaannya, apakah Indonesia hari ini sedang menghadapi "Kapitülasyon" versi modern?

Baca juga: Hari Koperasi Indonesia: Jalan Ekonomi Bangsa atau Toko Serba Ada?

Apa yang dilakukan Amerika Serikat kepada Indonesia hari ini memiliki pola yang serupa dengan peristiwa Kapitülasyon. Pada masa pemerintahan Trump, banyak negara berkembang—termasuk Indonesia—kehilangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP), program yang sebelumnya memberikan keringanan tarif bea masuk untuk produk negara berkembang. Sebagai contoh, Pemerintah Amerika Serikat di era Trump mengenakan tarif sebesar 19% terhadap berbagai produk ekspor Indonesia. Sementara di sisi lain, produk-produk dari Amerika tetap mudah masuk ke Indonesia, bahkan sering dengan bea masuk yang jauh lebih rendah dibandingkan negara lain di Asia.

Sumber: suaraproklamator.com

Trump memang tidak secara rinci memaparkan alasan kebijakan ini. Namun, dalam beberapa pernyataannya, ia menyebut bahwa Indonesia memiliki sumber daya mineral berkualitas tinggi, seperti tembaga dan nikel yang sangat dibutuhkan oleh Amerika. Dengan membuka akses dagang secara selektif, AS seolah ingin mengatakan:

"Kami tetap beri akses untuk mineral strategis kalian, tapi untuk barang lain, kami kendalikan tarifnya."

Kondisi ini mengingatkan kita pada pola relasi ekonomi yang timpang di masa Ottoman. Bedanya, kini ketimpangan itu tidak lagi disebut “Kapitülasyon”, melainkan dibungkus dengan istilah “perjanjian dagang bilateral” atau “penyesuaian tarif.”

Namun, yang menarik adalah pada saat yang sama, Trump tidak merinci kebijakan ini secara menyeluruh. Ia hanya menyebutkan bahwa mineral Indonesia, terutama tembaga dan nikel, memiliki kualitas yang sangat bagus dan strategis bagi Amerika Serikat. Pernyataan Trump tersebut menimbulkan beragam interpretasi di kalangan publik, termasuk masyarakat Indonesia itu sendiri. Masyarakat mulai membuat opininya masing-masing dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Saya sendiri mendapatkan 2 pesan tersirat dari berbagai media berita, yang akan saya jelaskan di bawah ini.

Dua pesan tersebut sebagai berikut:

  1. Tarif tinggi untuk barang konsumsi seperti tekstil dan sepatu adalah bagian dari strategi untuk mengendalikan pasar.
  2. Akses bebas untuk sektor mineral strategis adalah prioritas utama AS untuk mengamankan kebutuhan industrinya sendiri, terutama untuk baterai kendaraan listrik dan teknologi canggih.

Jika kita melihat praktik ini dengan kacamata sejarah, maka jelas ada kemiripan dengan Kapitülasyon: Negara kuat mengatur jalannya perdagangan sesuai kepentingannya, sementara negara berkembang harus bernegosiasi dari posisi yang lebih lemah.

Akan tetapi, pertanyaan kuncinya tetap sama: Apakah negara berkembang, seperti Indonesia, benar-benar bebas menentukan posisinya dalam perdagangan global? Atau kita sedang kembali mengulang bab lama dari sejarah ketimpangan ekonomi dunia?

Ketika fasilitas itu dicabut, berbagai komoditas Indonesia harus menghadapi tarif tinggi di pasar Amerika. Misalnya:

  • Tekstil dan garmen: dikenai tarif hingga 19%.
  • Sepatu dan karet: terkena bea masuk tambahan.
  • Produk pertanian dan olahan: dibatasi melalui standar teknis dan non-tarif.

Sementara itu, produk-produk Amerika masuk ke Indonesia dengan tarif rendah atau bahkan nol persen. Di sisi lain, Amerika juga menuntut Indonesia mengikuti standar tertentu dalam bidang lingkungan, ketenagakerjaan, dan keamanan, yang seringkali menjadi beban tambahan bagi negara berkembang. Jika melihat pola ini, tampak jelas bahwa yang terjadi bukan sekadar perdagangan bebas, melainkan perdagangan dengan aturan yang berat sebelah.

Di sisi lain, muncul juga kesalahpahaman publik soal “tarif 0%”. Banyak yang mengira pemerintah Indonesia bersikap lemah karena membiarkan barang dari AS masuk dengan bebas bea. Padahal, kenyataannya bisa jadi lebih kompleks.

Pemerintah Indonesia justru menjalankan strategi negosiasi cerdas dengan mengatur sektor mana yang akan dibuka dan mana yang tetap dilindungi. Jika semua barang dikenai tarif tinggi, bisa jadi AS akan membalas lebih keras dan neraca dagang malah goyah. Dengan menjaga sektor-sektor kunci tetap aman, sekaligus membiarkan beberapa produk tertentu dari AS masuk dengan tarif rendah, Indonesia berusaha menyeimbangkan diplomasi ekonomi agar neraca dagang tetap stabil.

Kapitülasyon dulu vs Tarif Modern Sekarang;

Aspek 

Kapitülasyon (Ottoman) 

Tarif Trump (Indonesia)

Kekuatan dominan

Negara-negara Eropa

Amerika Serikat

Korban kebijakan

Kesultanan Ottoman

Negara berkembang


(termasuk Indonesia)

Dampak

Turunnya daya minat


terhadap pasar lokal

Ketergantungan ekspor


dan lemahnya industri


dalam negeri


Kapitülasyon bukan hanya perjanjian lama yang sudah selesai. Dalam bentuk yang lebih modern, praktik serupa masih berlangsung lewat aturan dagang global yang berat sebelah. Ketimpangan dagang seperti ini berisiko menjerumuskan Indonesia ke dalam beberapa persoalan serius, di antaranya:

  1. Produk Indonesia menjadi mahal dan sulit bersaing di pasar Amerika.
  2. Industri lokal kehilangan insentif karena pasar dalam negeri dibanjiri produk impor murah.
  3. Indonesia kesulitan menetapkan standar sendiri, karena takut dikenai hambatan tambahan saat ekspor.
Sumber: politikal.id

Situasi ini menciptakan kondisi ironis: Indonesia ingin melakukan ekspor, tapi terus terhalang tarif dan standar yang ada, sementara impor dari negara besar justru masuk dengan mudah. Perlu diakui bahwa pemerintah Indonesia juga tidak sepenuhnya pasif. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemerintah sengaja membuka sektor mineral dengan negosiasi cerdas, agar neraca dagang tetap stabil, meskipun di sektor lain Indonesia dikenai tarif tinggi.

Sejarah Kesultanan Ottoman memberi pelajaran berharga. Kapitülasyon membuat Ottoman kehilangan kendali atas ekonominya sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini mempercepat kemunduran ekonomi dan politik mereka.

Baca juga: Turki Kembali Dilanda Kebakaran Hutan di Pertengahan Tahun 2025

Indonesia harus belajar dari sejarah ini:

  • Jangan mudah menandatangani perjanjian dagang yang timpang.
  • Perkuat industri lokal agar tidak hanya menjadi konsumen barang asing.
  • Lakukan diplomasi dagang yang lebih cerdas dan berani, demi menjaga kedaulatan ekonomi.

Dunia hari ini sedang kembali pada model relasi global yang asimetris. Negara kuat membuat aturan, negara lemah dipaksa mengikuti. Indonesia tidak boleh sekadar menjadi pasar, harus ada keberanian untuk memperjuangkan perjanjian dagang yang adil dan melindungi kepentingan nasional.

Perdagangan internasional hari ini bukan lagi soal tarif semata, tetapi soal siapa yang menguasai akses terhadap komoditas strategis. Dalam konteks ini, pertarungan tarif bisa menjadi “panggung depan”, sementara negosiasi soal mineral seperti tembaga dan nikel adalah “panggung belakang” yang lebih menentukan masa depan ekonomi.

Kapitülasyon memang sudah berlalu, tapi pola ketimpangan global masih terus mencari bentuk baru. Indonesia harus memilih: mengulang sejarah atau menulis ulang masa depannya sendiri.

Jika dulu Ottoman jatuh karena tunduk pada kapitulasi sepihak, hari ini Indonesia sedang belajar bermain di jalur diplomasi dagang yang lebih fleksibel. Bukan hanya soal harga, tapi soal menjaga kedaulatan sumber daya.



Penulis: Putri Nur Qoyyum

Editor: Muhammad Tsabbit Aqdam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak