In This Economy, Kuliah di Turki Masih Worth it Gak Sih?

Turki saat ini lagi seringnya beredar berita inflasi dengan angka yang tinggi. Sebagai mahasiswa asing yang mengenyam studi dan tinggal di tanah Ottoman ini, penulis merasakan langsung bagaimana harga-harga berubah dalam waktu yang relatif singkat. Barang-barang kebutuhan pokok yang dulunya masih terjangkau kini seakan terasa sangat mahal. Kurs Turkish Lira yang melemah dan biaya hidup yang meningkat, membuat banyak orang mulai bertanya: dengan kondisi ekonomi seperti ini, apakah kuliah di Turki masih layak diperjuangkan?

Tulisan ini tidak bermaksud memberikan jawaban mutlak, melainkan mengajak Sobat Miko dan pembaca lainnya, untuk melihat secara luas dan mendalam tentang realitas yang sedang terjadi. Apakah peluang dan pengalaman hidup di luar negeri, khususnya di Turki, masih sepadan dengan tantangan finansial dan budaya yang dihadapi? Mari kita bahas bersama.

IMF'den 2025 Türkiye Enflasyon Tahmini: Aynı Uyarı Tekrar Yapıldı! - Flash  Haber
Source: Flash Haber

Inflasi yang meningkat di Turki sudah mencapai sebanyak 35,64% dari 35,37% pada Mei 2025, yang mana ini merupakan level terendah dari 3 tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena kebijakan suku bunga yang tidak konvensional, pelemahan nilai tukar lira dan masih banyaknya ketergantungan pada impor untuk kebutuhan pokok. Presiden Turki, Recep Tayyip ErdoÄŸan, memiliki pendekatan ekonomi yang unik: ia percaya bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan inflasi, yang mana hal ini berbanding terbalik dengan teori ekonomi konvensional yang mengatakan bahwa suku jika suku bunga turun, maka inflasi terjadi. Akibatnya, saat inflasi naik, suku bunga justru malah diturunkan. Kebijakan ini menyebabkan kepercayaan pasar menurun dan nilai tukar Lira terhadap dolar AS anjlok.

Bagi masyarakat Turki mereka mulai terbiasa dengan situasi seperti ini. Mereka hidup dalam mata uang lokal (Lira) dan mendapatkan penyesuaian kenaikan upah gaji minimum. Namun bagi warga asing, seperti Diaspora Indonesia, terutama pelajar  yang berangkat secara mandiri, kondisi seperti ini cukup mengguncang.

Sebagai contoh sederhana yang penulis alami, mulai dari soal makanan. Telur yang awalnya seharga 50 lira sekarang telah menginjak 150 lira, begitupun hal lainnya. Ongkos transportasi umum dan taksi pun tidak ketinggalan ikut naik. Izin tinggal dan biaya administrasi kampus yang jika dibandingkan dengan yang ada di Eropa dan Amerika, biaya kuliah di Turki cenderung lebih terjangkau walaupun juga terdampak inflasi. Karena jika dibandingkan dengan dengan biaya kuliah di Indonesia, biaya kampus negeri memiliki UKT yang masih terjangkau, sementara di Turki, meskipun angka nominalnya kecil dalam lira, nilai konversi ke Rupiah bisa menjadi cukup besar, apalagi jika kurs sedang tinggi. 

Ini menjadi pertimbangan besar, terutama bagi mahasiswa yang berangkat mandiri atau mendapat beasiswa parsial. Kadang, yang terasa ringan di awal, menjadi beban di tengah jalan ketika kondisi ekonomi tidak mendukung. Namun di luar tekanan finansial, ada pula tantangan lain yang tidak kalah penting dalam keseharian mahasiswa asing, yakni soal bahasa dan komunikasi sehari-hari.

Meskipun beberapa program studi diajarkan dalam bahasa inggris, kenyataannya kehidupan sehari-hari di Turki sangat bergantung pada bahasa turki. Dari belanja, mengurus dokumen, hingga interaksi sosial, memiliki kemampuan bahasa Turki menjadi sangat penting. Banyak mahasiswa asing harus mengikuti kursus bahasa Turki selama satu tahun sebelum memulai masa perkuliahan jika semuanya berjalan dengan baik, tetapi jika mengalami pengulangan level? Ini berarti perlu tambahan waktu dan biaya. Walaupun di sisi lain, kemampuan bahasa Turki membuka peluang lebih luas bisa kerja part-time, lebih mudah bersosialisasi, bahkan peluang kerja setelah lulus.

Namun proses belajar bahasa bukan hal mudah, apalagi jika seseorang tidak memiliki latar belakang bahasa serupa. Butuh kesabaran, waktu, dan kemampuan untuk beradaptasi. Terkadang, di tengah tekanan akademik dan ekonomi, tantangan bahasa menjadi salah satu sumber stress tambahan. Tapi, bagi mereka yang berhasil menaklukan bahasa Turki, hal ini bisa menjadi aset yang berharga, terutama jika ingin menetap lebih lama atau bekerja di wilayah ini. Di balik keberhasilan beradaptasi itu, ada sisi lain dari kehidupan mahasiswa asing yang jarang mendapat sorotan.

Tidak semua mahasiswa asing berani bersuara. Banyak dari mereka hanya menunjukkan sisi menyenangkan saja, padahal sebenarnya sedang berjuang dalam kesulitan. Beberapa bahkan ada yang pulang di tengah jalan, ada pula yang harus kerja sambilan hanya untuk bertahan hidup. Ada pula tekanan mental, rasa kesepian, hingga kecemasan tentang masa depan, menjadi bagian dari perjuangan yang tidak selalu tampak dari luar. 

Source: marketeers.com

Sebagai mahasiswa, penulis pun merasakan demikian ketika harga melonjak, uang saku tetap, satu-satunya pilihan adalah bertahan. Tapi, dari situ juga penulis belajar banyak tentang tanggung jawab, manajemen keuangan, dan ketahanan diri.

Tulisan ini tidak bertujuan menjawab secara mutlak apakah kuliah di Turki masih Worth it. Penulis tidak ingin menggiring opini, tapi justru ingin membuka ruang refleksi. Karena kenyataan di lapangan tidak seindah katalog beasiswa atau postingan instagram. Ada banyak sisi yang perlu dilihat. 

Kuliah di luar negeri dalam mimpi banyak orang, tetapi mimpi itu datang dengan harga yang bukan hanya dalam bentuk uang. Maka dari itu bijaklah dalam mempertimbangkansegala hal, karena pada akhirnya yang akan menjalaninya adalah diri kita masing-masing.



Penulis: Mirtha Mukharomah

Editor: Muhammad Rangga Argadinata


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak