Erdoğan Tunjuk Tim Ahli Hukum untuk Rancang Konstitusi Baru: Antara Agenda Reformasi dan Kekhawatiran Publik

 

ANKARA — Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, secara resmi menunjuk sepuluh pakar hukum pada 27 Mei 2025 untuk menyusun rancangan konstitusi baru, yang disebut sebagai "konstitusi sipil dan lebih terbuka secara demokratis." Dalam pidatonya di hadapan para kepala daerah dari Partai Keadilan dan Pembangunan/Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP), Erdoğan menyatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk menggantikan konstitusi yang dirancang pasca kudeta militer 1980 dan sebagai upaya memodernisasi kerangka hukum negara.

“Kami telah berulang kali menunjukkan keinginan tulus kami untuk memahkotai demokrasi kita dengan konstitusi baru yang benar-benar sipil dan inklusif. Sejak kemarin, saya telah menugaskan sepuluh ahli hukum untuk memulai pekerjaan mereka,” ujar Erdoğan.

Meski inisiatif ini dipandang sebagian kalangan sebagai peluang reformasi, sejumlah pengamat menyoroti pentingnya transparansi dan partisipasi dalam proses penyusunan konstitusi. Beberapa akademisi dan organisasi masyarakat sipil menyampaikan harapan agar tidak ada penyalahgunaan proses untuk kepentingan politik jangka pendek.


Sumber: politikyol.com

Menurut Dr. Ergun Özbudun, pakar hukum tata negara dan mantan anggota Komisi Reformasi Konstitusi Turki, “Setiap proses perubahan konstitusi di bawah dominasi satu pihak harus dikawal ketat agar tidak mengikis prinsip checks and balances.” Özbudun sebelumnya aktif dalam upaya reformasi konstitusi di awal 2000-an, namun kini ia melihat tren yang berbalik arah.

Inisiatif ini muncul di tengah sorotan terhadap kondisi demokrasi di Turki. Kasus hukum terhadap tokoh oposisi, menimbulkan pertanyaan dari berbagai kalangan. Beberapa analis menilai bahwa dinamika politik saat ini berpotensi mempengaruhi keseimbangan kekuasaan dan ruang oposisi di Turki.

“Penting bagi proses politik berjalan secara adil dan terbuka agar kepercayaan publik tetap terjaga,” ujar Gönül Tol, direktur Turkey Program di Middle East Institute.

Secara hukum, Erdoğan telah menjabat sebagai Presiden Turki dua periode sejak tahun 2014—yang berarti bahwa masa kepresidenannya harus berakhir pada 2028. Berdasarkan konstitusi 2017 yang mengubah sistem pemerintahan Turki dari parlementer menjadi presidensial, seorang presiden hanya boleh menjabat dua kali, kecuali terjadi pemilu dini. Oleh karena itu, sejumlah pihak mempertanyakan apakah konstitusi baru dapat membuka peluang penafsiran baru atas masa jabatan.

Dr. Ayşe Yıldırım, dosen hukum tata negara di Universitas Bilkent,  menyatakan, “setiap upaya perubahan konstitusi idealnya melibatkan partisipasi publik yang luas dan transparan agar mencerminkan aspirasi seluruh warga negara.”


Sumber:iwacu-burundi.org

Lembaga internasional seperti Human Rights Watch dan Freedom House sebelumnya telah menyoroti pentingnya menjaga pluralisme politik dan independensi lembaga negara. Komisi Eropa, melalui Presiden Ursula von der Leyen, juga menekankan bahwa, “Proses reformasi konstitusi perlu menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan partisipasi masyarakat.”

Meski begitu, langkah ini juga mendapat pembelaan dari kalangan pendukung Erdoğan, dan beberapa akademisi di Turki. Mereka berargumen bahwa konstitusi 1982, yang disusun setelah kudeta militer, sudah usang dan tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat modern. Prof. Hakan Gültekin dari Universitas Marmara menyatakan, "Negara demokratis tidak boleh hidup dengan konstitusi yang dirancang oleh militer. Ini adalah kesempatan untuk merancang sistem hukum yang lebih adil, lebih sipil, dan modern, sejauh dilakukan secara transparan dan inklusif."

Hingga kini, belum ada informasi resmi mengenai siapa saja yang tergabung dalam tim pakar hukum tersebut, serta bagaimana mekanisme konsultasi publik akan dilaksanakan. Mengingat perubahan konstitusi memerlukan dukungan dua pertiga parlemen (400 dari 600 suara), Koalisi AKP-MHP (Adalet ve Kalkınma Partisi/Milliyetçi Hareket Partisi) saat ini tidak memiliki suara mayoritas untuk perubahan sebesar itu. Artinya, negosiasi dengan partai oposisi menjadi hal krusial. Beberapa analis menyebut bahwa kemungkinan pendekatan ke Partai DEM (Halkların Eşitlik ve Demokrasi Partisi) yang pro-Kurdi bisa menjadi bagian dari dinamika politik saat ini.

Sumber: BBC.com

Dr. Ceren Lord, peneliti dari University of Oxford dan ahli politik Turki kontemporer, menilai bahwa, “Dialog dengan berbagai kelompok politik adalah bagian penting dari demokrasi, namun sebaiknya dilakukan secara terbuka dan dengan itikad baik.”

Dengan berbagai pandangan yang berkembang, masyarakat Turki kini menantikan bagaimana proses ini akan berlangsung. Apakah konstitusi baru akan menjadi langkah maju menuju demokrasi yang lebih kuat, atau justru menimbulkan kekhawatiran baru, akan sangat bergantung pada transparansi, partisipasi publik, dan jaminan terhadap hak-hak dasar seluruh warga negara.


Penulis: ML

Editor: MFB

*Tulisan ini disusun untuk tujuan informasi dan analisis berdasarkan perkembangan terbaru terkait proses penyusunan konstitusi baru di Turki. Pendapat yang disampaikan oleh narasumber merupakan tanggung jawab masing-masing dan tidak selalu mencerminkan posisi resmi penulis atau lembaga penerbit.

*Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan atau bersifat partisan, melainkan mendorong diskusi terbuka mengenai isu-isu tata negara dan demokrasi secara umum. Pembaca diharapkan untuk merujuk pada sumber resmi dan dokumen hukum yang sahih untuk informasi lebih lanjut.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak