Dilema Program Pemerintah MBG: Komparatif Subsidi Makan Siang di Turki (Studi Kasus, Kota Sivas)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah Indonesia sejak awal kepemimpinan Prabowo Subianto telah menjadi sorotan publik, bukan hanya karena ambisinya yang besar—menjangkau lebih dari 80 juta penerima manfaat—tetapi juga karena sejumlah persoalan serius yang menyertainya. Kasus keracunan massal di sekolah-sekolah di Cianjur dan Bombana, dugaan penggelapan anggaran di dapur layanan Kalibata, serta kritik tajam dari lembaga seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) soal pemborosan anggaran dan kualitas menu yang meragukan, menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini jauh dari sempurna. Tak hanya itu, gelombang protes pelajar di Papua yang menuntut pendidikan gratis dan infrastruktur yang lebih layak menggambarkan bahwa subsidi makanan belum tentu menjawab seluruh kebutuhan dasar siswa.

Situasi ini memunculkan pertanyaan penting: apakah pendekatan yang diambil pemerintah Indonesia dalam program makan bergizi gratis ini sudah tepat? Bagaimana jika kita menengok praktik serupa di negara lain yang menghadapi tantangan logistik dan ekonomi serupa, tetapi berhasil menjalankannya dengan lebih terstruktur dan matang?  Turki misalnya (dalam hal ini kota Sivas), tempat penulis belajar, bisa menjadi contoh menarik. Di negara ini, terdapat subsidi makan siang yang diterapkan di berbagai tingkat pendidikan, baik untuk siswa sekolah dasar, menengah, dan atas, maupun mahasiswa universitas. Dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan terintegrasi. Program subsidi ini, menunjukkan bagaimana negara bisa menyentuh berbagai lapisan masyarakat melalui kebijakan yang mendukung kesejahteraan secara menyeluruh.

Saya mulai dari subsidi makan siang bergizi bagi para mahasiswa di tingkat universitas. Di mana makan bagi sebagian mahasiswa bukan hanya sekadar urusan perut kenyang, melainkan juga strategi menjaga ketahanan hidup akademik mereka. Berapa banyak jumlah makanan dibeli mahasiswa dengan uang saku yang hanya cukup untuk waktu seminggu? 

Sumber: ÜniversiteAra.com

Di tempat saya belajar, Sivas, sebuah kota yang terletak di kawasan timur Turki telah menuntaskan masalah bagaimana subsidi makan siang di sekolah dan kampus benar-benar menjawab kebutuhan dasar mahasiswa: gizi, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Di Sivas Cumhuriyet Üniversitesi, mahasiswa hanya cukup mengeluarkan 10 lira Turki (Sekitar Rp 4300) untuk makan siang dengan menu lengkap dan bergizi tanpa harus khawatir soal harga yang terus melambung. Ini bukanlah sebuah dongeng, ini kenyataan yang terjadi.

Meskipun Indonesia telah memulai program makan gratis di beberapa daerah dan sekolah tertentu, kenyataan yang terjadi di lapangan, seperti yang saya ungkapkan di awal, masih menunjukkan problem dan tantangan yang besar. Birokrasi rumit, penipuan, serta kesulitan pendanaan antara pemberi dana dan pihak katering sering kali menjadi penghambat. Lalu, apa solusi untuk menyelesaikannya? Hal apa yang bisa kita pelajari dari sistem makan siang yang diterapkan di Sivas? Informasi ini akan membandingkan dua realitas yang berbeda dan mengeksplorasi bagaimana kita bisa menghadirkan solusi yang lebih baik buat  Indonesia. 

Sivas Cumhuriyet Üniversitesi (SCÜ) menyediakan layanan makan siang bagi mahasiswa dengan harga yang sangat terjangkau. Setiap hari, mahasiswa dapat menikmati empat jenis makanan berupa setengah liter air, sup, roti, dan nasi beserta lauk seharga 10 lira di tahun 2024, yang sebelumnya seharga 5 lira. Sekitar 51.000 mahasiswa mendapatkan dampak positif dari layanan ini setiap harinya. Rektor SCÜ, Prof. Dr. Ahmet Sengonul, menekankan bahwa menyediakan makanan bagi mahasiswa adalah salah satu tanggung jawab universitas, dan harga tersebut sangat kompetitif mengingat bahwa harga makanan di luar kampus jauh lebih mahal. Selain itu, SCÜ juga memberikan makan siang gratis kepada sekitar 1250 mahasiswa berprestasi dan berpenghasilan rendah. Makanan disiapkan di dapur kampus yang dilengkapi dengan peralatan modern dan memenuhi standar kebersihan yang ketat.

Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, pemerintah kota Sivas juga melaksanakan program makan siang gratis yang didukung oleh Kementerian Pendidikan Nasional Turki. Pada tahun 2022, sekitar 15.828 siswa di Sivas menerima manfaat dari program ini, termasuk siswa di sekolah dasar, menengah, dan pendidikan khusus. Makanan disediakan di 60 asrama siswa dan beberapa sekolah dasar, dengan total sekitar 4926 siswa yang menerima tiga kali makanan utama dan satu kali makanan ringan setiap harinya.

Di samping itu, sekitar 9259 siswa yang mengikuti program pendidikan jarak jauh (taşımalı eÄŸitim) juga mendapatkan layanan makan gratis. Beberapa sekolah di daerah sivas seperti Gültepe bekerja sama dengan pemerintah kota untuk menyediakan makan siang gratis bagi sekitar 1500 siswa. Meskipun layanan makan di kampus dan sekolah sangat terjangkau, harga makanan di luar kampus mengalami lonjakan signifikan. Sebagai contoh, harga satu porsi ayam dan nasi (tavuk pilav), di luar sekolah, yang sebelumnya 70 lira melonjak menjadi 110 lira dalam waktu seminggu. Para pelajar mengeluhkan bahwa harga tersebut terlalu tinggi, sementara para pedagang menyatakan bahwa kenaikan harga bahan baku dan biaya operasional menjadi penyebab utama. Lonjakan ini terpengaruhi oleh inflasi yang terjadi setiap tahunnya. 

Sistem makan siang di Sivas, baik di tingkat universitas maupun sekolah, menunjukkan komitmen antara pemerintah dan institusi pendidikan untuk menyediakan makanan bergizi dengan harga terjangkau bagi para siswa sekolah dan universitas. Namun, tantangan harga di luar kampus tetap menjadi perhatian, dan penting untuk memastikan bahwa layanan makan di kampus tetap dapat diakses oleh semua kalangan.

Sivas Cumhuriyet Üniversitesi (SCÜ) memiliki dapur sendiri untuk memberikan subsidi layanan makan siang bagi mahasiswa dan staf kampus. Sistem ini dikelola secara internal oleh universitas, bukan melalui perusahaan katering profesional maupun pihak ketiga. Akan tetapi, tidak semua sekolah di wilayah Turki mengelola makan siang secara internal, sebagian juga menggandeng perusahaan katering dan pihak ketiga. Dapat diketahui bahwa program makan siang ini tidak masuk dalam program dari pemerintah pusat Turki, namun dari inisiatif pemerintah daerah (belediye) sesuai dengan anggaran dan ketetapan yang berlaku.

Sumber:Beautynesia.com

Makan siang gratis di Indonesia sebagian besar dikelola secara eksternal, yaitu kerjasama antara pemerintah daerah dengan UMKM lokal. Penulis berpandangan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Indonesia masih jauh dari kata harapan. Meskipun Indonesia telah meluncurkan program MBG untuk siswa sekolah dasar dan menengah, sistem ini masih jauh dari kata memadai. Kita dapat menemui banyak masalah berupa pengelolaan yang buruk, ketidaktransparan, dan penyalahgunaan anggaran. Sehingga program yang seharusnya memberikan manfaat nyata seringkali terhambat oleh ketidakmampuan birokrasi dalam mendistribusikan bantuan secara efisien.

Bahkan dalam banyak kasus, makanan yang disediakan tidak memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh para siswa. Pilihan yang ada sering kali tidak seimbang, dengan makanan yang mengandung karbohidrat berlebih, minim akan protein dan sayuran, serta porsi yang tidak mengenyangkan. Tentu hal ini tidak mencerminkan niat pemerintah untuk mendukung kesehatan siswa. Masalah lain adalah penyaluran yang tidak tepat sasaran, seringkali bantuan tidak sampai ke siswa yang benar-benar membutuhkan, sementara mereka yang memiliki akses lebih mendapatkan makanan lebih banyak sehingga menciptakan ketidakadilan dalam distribusi.

Penyalahgunaan anggaran juga menjadi masalah yang serius. Dana yang seharusnya digunakan untuk menyediakan makanan bergizi dan seimbang sering kali digelapkan atau disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Hal ini merusak tujuan program MBG dan memunculkan keraguan besar terhadap efektivitasnya. Walaupun pemerintah berupaya mendukung UMKM lokal, tanpa pengawasan yang ketat pun, kualitas makanan yang disajikan tetap diragukan. UMKM lokal yang diharapkan mendapat manfaat justru terjebak dalam sistem yang tidak efisien. 

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi salah satu pionir dalam pelaksanaan program makan siang gratis bagi siswa SMA, SMK, dan SLB. Dengan menggandeng masyarakat dan memanfaatkan pangan lokal—seperti jagung, ubi, dan hasil laut. Program  ini dinilai sebagai upaya strategis untuk menjawab persoalan klasik: kelaparan di sekolah, gizi buruk, dan keterlibatan orang tua dalam pendidikan.

Namun, seperti banyak program sosial lainnya, pelaksanaan di lapangan jauh dari tepat sasaran. Menu yang disajikan kerap didominasi karbohidrat, dengan minim asupan protein hewani dan sayuran. Tanpa keterlibatan ahli gizi dalam perencanaan, niat baik ini berisiko menciptakan ilusi pemenuhan gizi, padahal belum tentu memenuhi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak.

Persoalan lain muncul dari skema keterlibatan komunitas. Pemerintah daerah mendorong partisipasi orang tua, guru, dan masyarakat dalam proses penyediaan makanan. Namun tanpa dukungan pelatihan memadai dan jaminan dana operasional yang stabil, keterlibatan ini lebih menyerupai bentuk devolusi tanggung jawab yang belum siap. Di beberapa sekolah, guru dan orang tua harus menambal kekurangan anggaran dengan tenaga dan dana pribadi.

Model seperti ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana negara benar-benar hadir sebagai pelaksana kebijakan publik, dan kapan peran tersebut mulai dibebankan kepada masyarakat? Di satu sisi, kolaborasi menjadi penting. Di sisi lain, ketika negara mulai menarik diri dari tanggung jawab struktural, ketimpangan antar wilayah pun sulit dihindari.

Program makan siang gratis di NTT adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun agar tidak berhenti sebagai proyek simbolik, dibutuhkan perbaikan serius dalam aspek gizi, manajemen, serta dukungan kelembagaan. Ahli gizi lokal seperti puskesmas, dinas kesehatan, dan dari universitas setempat dapat diajak untuk berkolaborasi menggunakan pedoman menu KEMENKES atau bahan-bahan lokal. Pendidikan tidak cukup dengan ruang kelas saja, namun juga bergantung terhadap isi piring seluruh siswa. Berikut ini sebagian Analisis Komparatif wilayah Sivas dengan Indonesia;

Gambaran tabel di atas bisa diperhatikan bahwa program ini dimulai dengan waktu yang berdekatan, namun kota Sivas bisa membuktikan kepada pemerintah pusat dengan sistem dan anggaran yang digunakan dapat berjalan lancar. Sivas mewajibkan pelibatan ahli gizi dari pusat kesehatan masyarakat setempat dalam perencanaan dan evaluasi menu makan siang. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa makanan yang disajikan memenuhi standar kementerian kesehatan. Kualitas makanan dengan pedoman ketat juga mengimplementasikan dari kerja di lapangan terdapat bervariasi tergantung sumber daya dan pengawasan tingkat lokal.

Indonesia menggunakan dana program makan siang ini sepenuhnya dari pemerintah pusat dan anggaran yang dikeluarkan cukup besar, namun distribusinya belum merata. Indonesia juga sudah menjalankan program ini kurang lebih empat bulan dengan pedoman ahli gizi yang disusun oleh kementrian kesehatan. Meski demikian, perencanaan ini masih terbilang sangat terbatas karena masih ditemukan bahwa makanannya tidak sesuai dengan pedoman gizi yang ditetapkan. Hal ini menyebabkan kualitas dan penyajian keseimbangan gizi dalam makanan bervariasi. Pengawasan yang dilakukan jauh dari pengawasan ketat dan perlu ditingkatkan.

Dari semua penjelasan di atas, tentunya saya masih optimis dengan program kerja Makan Bergizi Gratis (MBG), namun perlu melakukan evaluasi yang banyak. Maka dari itu, saya menawarkan sebuah pendekatan buat program Makan Siang di sekolah/kampus ini, dengan akronim: SIVAS (Subsidi atau Intervensi untuk Akses Sumber Daya Pangan), akronim ini diambil dari nama kota Sivas tempat studi kasus ini dilakukan, namun dalam konteks ini, SIVAS menjadi simbol kebijakan lokal yang efektif dan layak direplikasi di Indonesia. Yang mana ini merupakan sebuah solusi yang dapat membantu pelajar maupun mahasiswa Indonesia yang menghadapi kesulitan ekonomi. Dengan mengingat bahwa beberapa pelajar/mahasiswa seringkali harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, dan keberadaan solusi ini diharapkan memberikan angin segar untuk meningkatkan kualitas hidup dan konsentrasi belajar mereka. Terlebih lagi, mengingat tingginya biaya hidup dan pendidikan, subsidi makanan menjadi solusi yang dapat mengurangi beban finansial pelajar/mahasiswa.

Walau begitu, tantangan besar tetap ada dalam mengimplementasikan solusi ini secara efektif. Ketimpangan infrastruktur dan akses antar sekolah/kampus, serta potensi birokrasi yang berbelit, menjadi hambatan yang harus diatasi agar SIVAS dapat menyentuh semua lapisan mahasiswa. Selain itu, kualitas gizi makanan yang disediakan dan keberlanjutan dari solusi ini perlu menjadi perhatian serius. Jika hanya dilihat sebagai solusi jangka pendek tanpa perencanaan matang, hal ini berisiko tidak mencapai tujuannya untuk mengatasi masalah kelaparan dan gizi buruk secara menyeluruh.

Maka dari itu, untuk menjadikan subsidi Makan Siang di Kampus dengan adanya SIVAS bisa benar-benar efektif, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, pihak sekolah atau perguruan tinggi, dan masyarakat. Kebijakan yang inklusif dan keberlanjutan program harus menjadi fokus utama. Dengan pendekatan yang holistik dan integratif, SIVAS diharapkan bisa menjadi solusi jangka panjang yang dapat lebih berdampak, tidak hanya bagi pelajar/mahasiswa, tetapi juga dalam memerangi ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia.



Penulis: Putri Nur Qayyum Dewantari

Editor: Muhammad Faiz Baihaqi


1 Komentar

  1. Keren banget karyanya Ka, ditunggu tulisan selanjutnya

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak