Evliya Çelebi: Sang Pengembara yang Mengabadikan Dunia Ottoman

            Semakin jauh manusia berjalan, maka akan semakin bijaksana dalam memandang dunia dan memahami manusia lainnya. Begitulah kiranya perjalanan hidup seorang pengembara dari negeri Ottoman yang bernama Evliya Çelebi. Ia melakukan perjalanan yang begitu menakjubkan, dimulai dari Istanbul hingga ke padang pasir Mesir, dari lembah Kaukasus hingga daratan Eropa Tengah. Namun, Evliya Çelebi tidak hanya berjalan lalu pulang begitu saja tanpa meninggalkan apa-apa, ia mencatat setiap langkah perjalanannya seperti seorang penyair yang sedang melukis dunia dengan kata-kata. 

            Evliya Çelebi sendiri lahir pada tahun 1611 di Istanbul, ia berasal dari keluarga terpelajar yang memiliki hubungan dekat dengan lingkungan istana. Ayahnya, Derviş Mehmed Zilli, merupakan seorang pembuat perhiasan istana (saray kuyumcusu) yang dikenal dekat dengan Sultan Murad IV. 

Source: Wikipedia

            Atas rasa keingintahuan yang tinggi, serta koneksi keluarganya, Evliya mendapatkan kesempatan untuk belajar di Enderun Mektebi—bagian dalam istana yang menyediakan pendidikan bagi orang-orang istana—selama empat tahun. Selama di Istana Ia mempelajari dunia kepenulisan, musik, sastra, serta ilmu bahasa Arab dan Persia. Hasil dari seluruh pendidikan yang ditempuhnya membuatnya memiliki sudut pandang yang luas terhadap dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap kebudayaan lintas bangsa.

            Menurut kisah yang terkenal, hasratnya untuk mengembara berawal dari sebuah mimpi. Dalam tidurnya, Evliya bermimpi bertemu Nabi Muhammad ﷺ di suatu masjid yang penuh dengan jamaah. Berniat hati hendak meminta şefaat (syafaat) kepada Nabi, namun lidahnya terpeleset dan malah mengucap seyahat (perjalanan). Nabi yang mendengar ucapannya membalas dengan senyuman dan memberkati keinginannya. Di antara para jamaah terdapat sosok sahabat Nabi, Sa’ad bin Abi Waqqas, yang memintanya untuk menuliskan apa-apa saja yang dilihatnya selama perjalanan. Dari situlah takdir hidupnya sebagai pengembara dimulai. 

            Evliya memulai perjalanannya sekitar tahun 1640, mula-mula di dalam wilayah Anatolia, lalu ke Balkan, Mesir, Suriah, dan beberapa wilayah Eropa Timur. Selama lebih dari empat tahun, ia mengunjungi ratusan kota dan mencatatnya secara rinci dalam sebuah karya ensiklopedis yang ia beri nama Seyahatnâme. Seyahatnâme terdiri dari sepuluh jilid besar yang tidak ada hanya mencatat jarak dan tempat, tetapi juga tentang kota, bahasa, adat, arsitektur, makanan, sistem pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat yang ditemuinya. Seperti dicatat oleh sejarawan Fuat Iz, dalam Evliya Çelebi ve Seyahatnâmesi. Belleten, “Seyahatnâmesi merupakan kaleidoskop peradaban Ottoman yang merekam interaksi manusia lintas budaya dengan gaya yang hidup dan penuh imajinasi.”

Source: Beşir Kitabevi

            Evliya menulis dengan gaya naratif yang memadukan fakta dengan keindahan tutur. Ia sering menyisipkan deskripsi tentang suasana pasar, nyanyian rakyat, tawa anak-anak, hingga bau rempah di pelabuhan. Tidak ada detail yang dianggapnya terlalu kecil untuk diabadikan, meskipun itu hanya sekadar suara pasar dan tawa anak-anak di jalanan. Dalam pandangannya, setiap manusia dan tempat punya cerita, dan setiap cerita pantas untuk diabadikan.

            Menurut Iz juga, gaya penulisan Seyahatnâme menggabungkan pengamatan etnografis dengan unsur sastra klasik Ottoman. Ia menulis dalam bentuk prosa panjang yang sering diselingi pantun (manzume), doa, dan kisah humor. Hal ini menunjukkan bahwa bagi Evliya, menulis bukan sekadar mencatat, melainkan cara merayakan pengalaman manusia.

            Perjalanan Evliya membawa kita menyusuri wajah dunia Ottoman abad ke-17. Ia menulis tentang Istanbul, ibu kota yang hidup di antara dua benua; tentang Kairo, kota ilmu dan perdagangan yang tidak pernah tidur; tentang Damaskus, yang disebutnya “taman dunia”; tentang Wina, sebagai simbol pertentangan antara Timur dan Barat. Evliya juga bahkan  berhasil sampai ke wilayah Sudan dan Habasyah (Ethiopia) dengan menyusuri aliran Sungai Nil dan menyebut banyak wilayah di sana sebagai “tanah surga yang dilupakan” karena begitu takjub dengan keindahan alamnya. 

            Namun keistimewaan Evliya Çelebi tidak hanya terdapat pada sejauh mana ia berjalan, melainkan bagaimana ia memandang dunia. Dalam kisahnya seringkali terselip rasa humor, kejujuran, dan empati yang jarang ditemukan dalam catatan sejarah pada zamannya. Ia menggambarkan orang-orang dari berbagai etnis dan agama bukan sebagai “yang lain”, melainkan sebagai kesatuan utuh dari mosaik besar kemanusiaan. Ia menulis tentang bangsa Arab, Armenia, Afrika, Kurdi, Yahudi, dan banyak bangsa lain  dengan rasa hormat dan kekaguman. Bagi Evliya sendiri, keragaman bukanlah suatu ancaman—melainkan keindahan yang layak dirayakan. 

Source: Sabah.com

            Sebagai seorang penulis, Evliya juga dapat disebut sebagai pengamat sosial dan antropolog awal. Ia memperhatikan kebiasaan masyarakat, bahasa daerah, sistem pemerintahan, dan keunikan arsitektur setiap kota. Dalam hal ini, Seyahatnâme menjadi sumber berharga bagi para sejarawan modern: bukan hanya catatan perjalanan, tetapi juga cermin yang memantulkan wajah Ottoman dengan segala kompleksitasnya. 

        Meskipun terkadang kisahnya terasa dilebih-lebihkan atau mengandung unsur imajinatif—seperti pertemuannya dengan makhluk ghaib, kota-kota ajaib, atau jumlah pasukan yang mustahil—namun hal tersebut justru malah menambah daya tarik tulisannya. Karena Evliya memberikan kesan dramatis, romantis, dan terkadang mistis pada tulisannya bukan untuk menyelewengkan fakta, melainkan bentuk imajinasi dari sudut pandang dunia yang dilihatnya. Evliya Çelebi mengingatkan kita bahwa sejarah tidak selalu harus kaku dan beku. Ia bisa hidup, bernapas, dan berbicara kepada seluruh pembacanya dengan suara yang hangat. 

            Pengaruh Seyahatnâme yang ditulisnya hingga sekarang masih menjadi rujukan penting bagi para sejarawan, ahli geografi, hingga antropolog modern yang berusaha memahami dunia Ottoman dan wilayah sekitarnya. Deskripsi Evliya tentang kondisi masyarakat, bahasa, dan adat istiadat memberikan wawasan berharga tentang kondisi sosial Ottoman abad ke-17 yang tidak ditemukan dalam arsip kerajaan dan menjadikan karyanya sebagai ensiklopedia budaya yang hidup.

            Dalam sebuah penelitian, menunjukkan bahwa Seyahatnâme disusun secara bertahap. Naskah aslinya ditulis tangan dalam bahasa Turki Ottoman dan disalin ulang beberapa kali setelah wafatnya. Edisi tertua yang masih ada kini disimpan di Perpustakaan Topkapı Sarayı, sementara versi lain diterbitkan oleh Yapı Kredi Yayınları (2011) dengan penyuntingan oleh Robert Dankoff dan Seyit Ali Kahraman. Di mana Evliya Çelebi sendiri diperkirakan telah meninggal dunia sebelum menyelesaikan tulisannya. Bukti ini diperkuat karena jilid kesepuluh dari Seyahatnâme berakhir secara tiba-tiba dan tidak lengkap. Tidak ada informasi pasti mengenai tempat dan tanggal kematiannya. Sejarawan Turki, Cavid Baysun awalnya menulis bahwa Evliya Çelebi wafat sekitar tahun 1682, berdasarkan informasi terakhir dari Seyahatnâme. Namun, di kemudian hari ia mengoreksi informasi tersebut, dengan mengatakan bahwa Evliya Çelebi kemungkinan masih menyaksikan pengepungan Vienna pada tahun 1684. 

            Barangkali perjalanan Evliya Çelebi tidak sejauh Marco Polo yang menembus daratan Asia, atau Ibnu Batutah yang hampir menjelajahi seluruh dunia islam. Namun, ia tetap memiliki nilai tersendiri dengan memandang dunia melalui mata seorang penyair dan hati seorang humanis. Oleh karena itu, meski langkahnya mungkin lebih pendek, namun pandangannya menjangkau lebih jauh dari banyak pengembara lain.

            Warisan Evliya Çelebi bukan hanya terletak pada sepuluh jilid Seyahatnâme, tetapi juga pada semangat yang ia tinggalkan: semangat untuk memahami manusia melalui perjalanan. Ia menunjukkan bahwa pengetahuan, rasa ingin tahu, dan empati mampu menembus ruang dan waktu. Evliya Çelebi mungkin telah berhenti berjalan berabad-abad yang lalu, tetapi langkah-langkahnya masuk bergema—mengajarkan bahwa setiap catatan, pandangan, dan perjalanan bisa menjadi jendela menuju kemanusiaan.



Penulis: Muhammad Tsabbit Aqdam

Editor: Muhammad Rangga Argadinata

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak