Mengingat Kembali Polemik Argumen Harun Yahya

Harun Yahya, salah satu orang yang berasal dari negara Turki yang cukup dikenal oleh banyak masyarakat Indonesia selain Sultan Muhammad Al-Fatih, Mustafa Kemal Ataturk, dan Presiden Recep Tayyip ErdoÄŸan. Mungkin banyak dari kita mengenal namanya dari berbagai sumber media pada dekade 2000-an. Harun Yahya, nama pena dari Adnan Oktar adalah seorang penulis kreasionis dari Turki yang dikenal luas di dunia islam khususnya Indonesia, melalui buku-bukunya yang menolak keras teori evolusi makhluk hidup dan mendukung penuh teori kreasionisme.

Sebelum melangkah lebih jauh, kita harus mengetahui apa itu definisi dari kreasionisme dan teori evolusi. Sederhananya, kreasionisme adalah kepercayaan yang menyatakan bahwa alam semesta, kehidupan, dan khususnya makhluk hidup diciptakan langsung oleh tuhan secara sengaja dalam bentuk yang bisa dilihat oleh mata kita, bukan melalui proses mekanisme yang panjang dan rumit. Sehingga tidak dibutuhkannya suatu pengalaman empiris maupun ilmiah dalam mempelajarinya. Sebagai contoh, pendukung kreasionisme percaya bahwa manusia langsung muncul begitu saja dalam bentuk rupa yang sekarang bukan terbentuk dari organisme sederhana yang melalui proses evolusi yang lambat dan panjang.

Sedangkan teori evolusi adalah teori penjelasan ilmiah yang menyatakan tentang pembentukan alam semesta, bumi, kehidupan, dan makhluk hidup yang berkembang dari bentuk sederhana menjadi bentuk yang sangat rumit dan kompleks selama miliaran tahun lamanya. Teori Evolusi juga menyatakan bahwa semua keragaman makhluk hidup yang ada di dunia kita berkembang dari satu leluhur yang sama dan telah mengalami proses perubahan bertahap (berevolusi) dari generasi ke generasi dengan beradaptasi sesuai dengan lingkungan tempat makhluk hidup tersebut tinggal. 

Kita dapat mengambil contoh pada masa modern sebagai berikut; Burung Finch yang hidup di kepulauan Galapagos, Ekuador, memiliki bentuk paruh yang berbeda-beda di setiap pulau. Hal ini terjadi akibat makanan yang berbeda di tiap pulau burung tersebut hinggap, burung yang tinggal di satu pulau dengan makanan biji keras memiliki paruh yang besar dan kuat. Sedangkan pada burung yang tinggal di pulau lainnya dengan makanan berupa serangga hanya memiliki paruh yang kecil dan tajam. Ini menunjukkan bahwa teori evolusi bekerja akibat isolasi dan tekanan lingkungan sehingga spesies burung tersebut beradaptasi dan mempunyai fisik yang berbeda padahal dulunya berasal dari leluhur spesies yang sama. Peristiwa ini diamati langsung oleh Charles Darwin, seorang Naturalis Inggris ketika menulis buku On the Origin of Species.

Sumber: harunyahya.info

Kembali lagi dengan Harun Yahya, selama masa aktifnya, ia konsisten menolak mentah-mentah teori evolusi dan mengagungkan kreasionisme dengan mengklaim sepihak bahwa argumen dan ‘Teori’ yang ia buat berdasarkan pendekatan ilmiah, khususnya mengenai asal usul kehidupan manusia. Namun, banyak argumennya telah dikritik secara luas oleh kalangan ilmuwan karena mengandung kesalahan logika berpikir, penyalahgunaan konsep ilmiah dan penamaan ilmiah, serta pendekatannya lebih mengarah ke Pseudo-sains.

Kali ini, kita akan membedah secara sederhana beberapa kesalahan utama dalam argumen-argumen Harun Yahya mengenai asal usul kehidupan dan penciptaan makhluk hidup, dengan tujuan agar kita semua yang membaca menjadi lebih kritis dan vokal melawan kebodohan yang sistemik.

1. Tentang Fosil dan Transisi Spesies

Salah satu fokus utama Harun Yahya dalam serangannya terhadap teori evolusi adalah pada bukunya yang berjudul The Evolution Deceit (Penipuan Evolusi), ia menyatakan bahwa:

“Fossils are proof that evolution never happened. As the fossil record shows, living things came into being in a single moment, with all the characteristics they possess and never altered in the least for so long as the species survived. Fish have always existed as fish, insects as insects and reptiles as reptiles.”

("Fosil adalah bukti bahwa evolusi tidak pernah terjadi. Seperti yang ditunjukkan oleh catatan fosil, makhluk hidup muncul dalam satu momen, dengan semua karakteristik yang mereka miliki dan tidak pernah berubah sedikitpun selama spesies tersebut bertahan. Ikan selalu ada sebagai ikan, serangga sebagai serangga, dan reptil sebagai reptil.")

Seperti yang kita baca, argumen Harun Yahya di atas banyak menunjukkan kesalahpahaman mendasarnya terhadap teori evolusi khususnya fosil. Padahal, berdasarkan studi ilmiah, fosil-fosil tersebut malah menunjukkan bahwa makhluk hidup muncul secara bertahap, dimulai dari bentuk sederhana menjadi bentuk yang kompleks seperti bakteri prokariotik adalah fosil tertua sekitar 3,5 miliar tahun yang lalu berkembang ke organisme multiseluler yang muncul sekitar 600 juta tahun lalu lalu berkembang lagi ke vertebrata (ikan bertulang) yang muncul sekitar 500 juta tahun lalu dan seterusnya sampai menjadi sekarang ada mamalia, reptil, aves, dan lain-lain. Bahkan, DNA organisme hidup juga mendukung pembuktian urutan evolusi yang ditunjukkan oleh fosil, misalnya kesamaan genetik antara manusia modern (Homo Sapiens) dan simpansen sekitar 98-99 persen. Hal ini terjadi akibat kita manusia modern dan simpanse berasal dari leluhur yang sama tentunya dengan bukti fosil leluhur kita yang tersedia.

Selain itu, Harun Yahya juga menulis secara eksplisit bahwa tidak ada spesies yang berubah bentuknya. Namun sekali lagi, kesalahan argumen Harun Yahya terlihat di sini, bahwa telah banyak ditemukan fosil-fosil peralihan, yaitu sisa kehidupan yang menjadi fosil dan menunjukkan ciri-ciri dari dua kelompok besar yang berbeda, sebagai contoh beberapa fosil yang telah ditemukan yaitu:

Tiktaalik, Merupakan spesies peralihan dari Ikan ke Amfibi, memiliki ciri berupa sirip seperti ikan, namun juga memiliki sendi seperti kaki.

Archaeopteryx, Spesies peralihan dari Reptil (Dinosaurus) ke Burung, memiliki ciri mempunyai gigi dan ekor seperti reptil namun juga bulu dan sayap seperti burung.

Ambulocetus, Spesies peralihan dari Mamalia darat ke paus, masih memiliki kaki bisa berenang mirip paus berjalan.

Basilosaurus, Paus Modern Awal, Tubuhnya seperti paus, namun masih punya kaki belakang yang kecil, menandakan bahwa evolusi terjadi karena Basilosaurus ketika di laut ia tidak menggunakan lagi kakinya untuk berenang, sehingga dengan proses yang sangat lambat dan panjang, kaki tersebut mengecil dan menghilang sampai kita melihat keadaan paus yang sekarang.

Oleh karena itu argumen Harun Yahya mengenai fosil dan transisi spesies untuk melawan teori evolusi sangat keliru, tidak akurat secara ilmiah, mengabaikan ribuan fosil transisi yang telah ditemukan, serta menyederhanakan bagaimana kerja evolusi sesungguhnya terkhusus ilmu biologi. Argumen-argumennya lebih seperti orang yang tidak pernah membaca buku biologi sekalipun.

2. Tentang Asal Mula Kehidupan

Di buku ciptaannya Atlas of Creation, Harun Yahya menuturkan bahwa:

“Evolution cannot explain the origin of life from non-life.”

(“Evolusi tidak dapat menjelaskan asal mula kehidupan dari materi yang tidak hidup.”)

Dari tulisannya, ia menegaskan bahwa Teori Evolusi tidak mampu menjelaskan bagaimana kehidupan pertama kali bisa muncul dari bahan-bahan kimia yang tidak hidup. Ia menggunakan argumen Red Herring Fallacy (Mengalihkan perhatian) untuk meragukan keseluruhan Teori Evolusi yang sebenarnya bukan ranahnya Teori evolusi untuk menjelaskan keadaan itu sehingga Harun Yahya membenarkan argumennya mengangkat ide kreasionisme sebagai alternatif.

Hal yang harus diperhatikan untuk menjelaskan hal ini adalah teori evolusi hanya menjelaskan perkembangan kehidupan setelah munculnya organisme hidup pertama. Kajian yang menjelaskan tentang bagaimana asal mula kehidupan dapat muncul itu merupakan bagian dari Abiogenesis, sebuah kajian yang terpisah dengan Teori Evolusi dan masih diteliti hingga hari ini.

Sederhananya, Abiogenesis adalah studi bagaimana molekul-molekul non hidup bergabung membentuk molekul hidup pertama, lalu berkembang menjadi organisme hidup. Sedangkan Teori Evolusi adalah studi tentang perubahan makhluk hidup yang sudah ada dari generasi ke generasi melalui proses seperti mutasi dan seleksi alam. Teori evolusi itu sendiri tidak dirancang untuk menjelaskan tentang abiogenesis, bahkan Charles Darwin pun tidak membahas secara rinci mengenai hal itu dalam penelitiannya. Sehingga sekali lagi, Harun Yahya salah sasaran dalam menyerang teori evolusi dengan argumennya.

Sumber: Amazon.com

3. Tentang Evolusi dan Agama

Harun Yahya dalam bukunya The Evolution Deceit dan Atlas of Creation, menuliskan bahwa:

“Evolution is a materialistic ideology that denies the existence of a Creator.”

(“Teori evolusi adalah teori materialistik yang bertentangan terhadap keberadaan sang pencipta.”)

Menurutnya, Teori Evolusi ini bukan hanya sekedar teori saja, namun melainkan sebuah pandangan dunia yang mendorong ateisme dan menolak keberadaan tuhan secara absolut serta meyakini ada agenda tersembunyi untuk melenyapkan eksistensi umat beragama.

Ia menganggap bahwa Teori Evolusi sebagai bagian dari ideologi sekuler yang memengaruhi pendidikan dan nilai masyarakat untuk meninggalkan agama sehingga ia melihat hal ini sebagai ancaman.

Penting untuk memahami bahwa evolusi bukanlah merupakan sebuah ideologi yang harus dianut, melainkan sebuah teori ilmiah yang dibangun berdasarkan observasi, data, dan eksperimen dari berbagai cabang ilmu seperti Biologi, Paleontologi, Genetika, dan Anatomi. Sehingga keliru mengatakan teori yang menjelaskan fenomena alam yang benar-benar terjadi di tempat kita tinggal akan menghancurkan nilai suatu agama karena bekerja di ranah yang berbeda, sains bertanya dan menjawab ‘bagaimana’ alam semesta bekerja. Sedangkan, agama dan keyakinan bertanya dan menjawab ‘mengapa’ kehidupan bisa terjadi dan makna hidup di dalamnya.

Lebih lanjut, Teori Evolusi sendiri tidak menjelaskan keberadaan tuhan ada atau tidak, ia hanya mencari bagaimana mekanisme alam dan keragaman kehidupan terjadi. Sebagai makhluk cerdas yang dapat berpikir, kita tentu dapat menerima bahwa umat beragama dapat menjadikan Teori Evolusi ini sebagai ‘Alat’ tuhan untuk menciptakan keragaman makhluk hidup yang melimpah.

4. Gagal Menyediakan Alternatif Ilmiah yang Kredibel

Meskipun gencar menolak Teori Evolusi, Harun Yahya tidak pernah menyediakan model ilmiah alternatif tandingan yang bisa diuji dan diverifikasi. Argumen-argumennya hanya menyatakan bahwa tuhan menciptakan segalanya secara langsung atau kata lain kreasionisme, tanpa menjelaskan bagaimana proses itu terjadi secara ilmiah.

Padahal, pada ilmu pengetahuan, yang lebih penting daripada perkataan belaka adalah percobaan atau eksperimen untuk mendapatkan suatu bukti yang konkret dan valid, sehingga bisa didiskusikan untuk menghasilkan suatu teori yang mumpuni.

Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan Harun Yahya hanya lebih bersifat apologetik daripada ilmiah. Tidak ada mekanisme, data eksperimental, atau prediksi yang dapat diuji dalam kerangka kreasionisme yang ia ajukan. Sekali lagi, ilmu pengetahuan membutuhkan model yang dapat diuji, diprediksi dan direvisi sesuai bukti. Namun, sayangnya pendekatan Harun Yahya tidak memenuhi standar ini. Ya sama saja dengan penganut bumi datar, hanya berargumen belaka tanpa bukti.

Komunitas ilmiah global khususnya para ilmuwan telah menolak kreasionisme sebagai suatu ilmu karena tidak memiliki nilai prediktif, juga tidak menghasilkan publikasi di jurnal ilmiah terakreditasi, dan lebih bersifat dogma daripada teori.

Meski Harun Yahya memiliki pengaruh yang besar di kalangan umat beragama, pendekatannya terhadap sains dan agama mengandung banyak kesalahan logika, metodologi, bahkan interpretasi dalam rangka mendukung idenya menaikkan kreasionisme. Argumen-argumennya yang menolak evolusi, menyalahgunakan konsep ilmiah, tidak pernah menggunakan metode ilmiah, dan lebih mempromosikan teori konspirasi dan kecurigaan lebih mencerminkan pendekatan ideologis daripada ilmu pengetahuan. Untuk membangun pemahaman yang sehat antara ilmu pengetahuan dan agama, diperlukan pendekatan yang jujur, terbuka, dan menghormati prinsip metode ilmiah.

Bantahan dan Kritik terhadap Harun Yahya bukanlah kritik terhadap umat beragama, namun melainkan kritik terhadap upaya penyebaran Pseudo-sains yang justru merugikan pihak yang memercayai begitu saja tanpa berpikir kritis sehingga merusak citra umat beragama itu sendiri. Umat beragama perlu diajak untuk melek ilmu pengetahuan, menghargai metode ilmiah, dan memperdalam berpikir kritis sebagai cara memahami ciptaan tuhan yang indah sekaligus menjadikan umat beragama yang kuat.



Penulis: Muhammad Faiz Baihaqi 

Editor:Muhammad Rangga Argadinata 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak