Sang Seniman dan Galeri Kegagalannya

    

       “Jadi, semua karya seni di sini merupakan koleksi anda, Pak?” Tanya seorang reporter TV perempuan dengan balutan lipstik dan sedikit rona merah tipis di pipi, yang sedang meliput rumah salah seorang seniman tersohor abad ini.

        Seniman tersebut bernama Richard, ia adalah seorang pemahat patung. Ia terkenal dengan karyanya yang memadukan seni patung Yunani klasik dan Hellenistic di tengah padatnya karya seni modern saat ini. Dengan sentuhan realis dan bumbu dramatis pada setiap karya, membuat siapapun yang berhadapan dengan karyanya seolah-olah sedang berdialog bersama.

        Setiap tahun, Richard menjadikan rumahnya sebagai pagelaran seni untuk setiap karya-karyanya. Sang seniman memiliki rumah yang begitu megah bak bangunan-bangunan antik Yunani. Gerbang masuknya sendiri dijaga oleh dua patung besar berukuran 2,5 meter. Di satu sisi terpampang Dewa Perang Yunani, Ares, sementara di sebelahnya berdiri dengan gagah seorang pahlawan Yunani, Hercules. Selain itu, di halaman rumahnya terdapat kolam air mancur dengan patung Atlas yang sedang memikul bumi di tengahnya.

        Lalu, tepat pada saat memasuki rumah, seluruh tamu akan disambut oleh portrait patung sang seniman yang sedang menjadi seorang kaisar romawi, lengkap dengan pakaian dan mahkotanya – seolah Richard hendak menunjukkan bahwa ialah sang maestro pencipta, layaknya Julio Caesar yang menobatkan dirinya sendiri sebagai dewa tertinggi Romawi, Jupiter.

        “Iya. Semuanya saya ukir sendiri. Saya sudah tertarik dengan seni pahat patung sejak kecil. Kalau tidak salah, sejak saya berumur 8 tahun.” Jawab Seniman tersebut dengan penuh hikmat.

        “Menarik sekali. Tapi pak Richard, saya dan pastinya para pemirsa yang menyaksikan juga penasaran. Kenapa Bapak memilih untuk menekuni seni patung klasik di era gempuran modernitas saat ini?” Tanya reporter wanita tersebut, sambil sesekali memandang lembut patung di dekatnya.

        “Mudah saja. Apalagi yang dapat membuat manusia bertahan dengan sesuatu hal, selama puluhan atau bahkan ribuan tahun lamanya, jika bukan cinta?” Jawabnya dengan tenang. Richard sendiri telah berumur 45 tahun dan terhitung sebagai seniman senior. Dari rambutnya yang sudah mulai memutih dan gaya bicaranya yang tenang, terpancar cahaya kebijaksanaan.

        “Tapi bagaimana pendapat bapak tentang karya-karya seni modern?”

        “Saya ingin menghargai setiap karya seni yang ada. Namun jika boleh jujur, menurut saya, sebagian karya seni modern telah kehilangan suatu elemen bernama ‘emosi’ pada karyanya. Saya sendiri melihat setiap karya seni layaknya makhluk hidup yang memiliki jiwa dan rasa, dan saya tidak melihat itu pada sebagian besar karya seni modern.”

        “Apa anda sedang mengkritik ‘Pisang yang dilakban’ karya Maurizio Cattelan yang laku dengan harga miliaran?” Tanya reporter dengan nada memancing, seraya tersenyum.

        “Saya tidak mengatakannya, tapi…” Richard berhenti sejenak dan mengangkat kedua tangannya sejajar dengan bahu, “Saya rasa semua orang tahu itu.” Lalu diakhiri oleh tawa mereka berdua.

        Obrolan tentang seni modern masih berlanjut beberapa menit berikutnya. Richard berpendapat bahwa seni haruslah bersifat sederhana, dalam artian dapat dinikmati keindahannya oleh semua kalangan. Sedangkan menurutnya, karya-karya seni modern terlalu eksklusif dan sulit dinikmati, para seniman hari ini terlalu fokus pada unsur filosofis yang kaku, sedangkan esensi seni terdapat pada estetika. Begitulah pernyataan Richard, Ia berkata jujur dan apa adanya, sejujur karya-karyanya.

        Selanjutnya, Richard mengajak reporter tersebut berkeliling museum seninya—karena rumahnya nampak seperti museum. Ia memperkenalkan berbagai karya milikinya, mulai dari patung dewa-dewi Yunani, para pahlawan dunia, hingga hewan-hewan mitologi. Semua karya seninya diletakkan sesuai dengan segmentasinya masing-masing.

        “Dalam satu tahun biasanya berapa karya yang bisa dibuat, pak?” Tanya Reporter wanita yang terus menggoreskan tinta di buku catatannya, kala memasuki ruang galeri hewan mitologi.

        “Mungkin untuk ukuran yang besar bisa saya buat 5-10 patung. Kalau yang kecil-kecil 20 lebih patung saya masih sanggup. Nah, tapi tergantung detail sama kesulitannya juga. Kadang ada yang bisa sampai berbulan-bulan, mbak. Kayak patung Ares dan Hercules di gerbang masuk, itu saya buat 9 bulan lamanya.” Jawab sang seniman menjelaskan.

        Setelah berkeliling dari satu galeri ke galeri lainnya, Richard mengungkapkan bahwa ia akan membuka satu galeri baru. Galeri ini sebenarnya sudah sejak dulu ada di rumahnya, namun hanya ia simpan sebagai koleksi pribadi saja. Nama galeri tersebut adalah “Galeri Kegagalan”. Nama ini  bukanlah istilah seni yang mengandung makna tersirat dibaliknya, Richard adalah seniman yang jujur dan apa adanya. Ia menamai galeri tersebut demikian, karena di dalamnya memang berisikan seluruh karyanya yang tertolak, gagal, ataupun mengandung kisah kelam pribadinya.

Sumber: magazine.urbanicon.co.id

        Berbanding terbalik dengan seluruh karyanya yang tampak begitu nyata dan indah, di dalam galeri kegagalan semuanya terlihat buruk. Sebagian besar yang patung bahkan tidak dapat didefinisikan bentuknya. Entah mengapa Richard hendak memamerkan karya-karyanya tersebut. Namun, yang menarik adalah pernyataan Richard tentang Galeri Kegagalan itu sendiri.

        “Wah! Apa semua ini juga karya pak Richard? Karena patung-patung di sini terlihat begitu kontras dengan karya bapak biasanya.” Di sini, Sang Reporter berusaha tersenyum untuk sopan santun. Namun, ia tidak dapat menutupi wajahnya yang penuh keheranan seakan berkata ‘Apa benar ini karya seni?’.

        “Iya, ini semua juga karya saya sendiri. Tadi anda sempat bertanya soal karya yang paling berkesan buat saya kan, maka di sinilah kita. Semua karya-karya tersebut ada di Galeri Kegagalan ini.” Jawab Richard dengan bangga, seraya menatap kegagalan-kegagalannya. Tentu saja Sang Reporter semakin kebingungan dengan hal ini. Bagaimana bisa?

        Sesi berkeliling rumah dan wawancara akhirnya berakhir di Galeri Kegagalan. Semua disiarkan secara langsung di televisi dan kanal youtube. Pengaruh Richard di dunia seni juga bukan kaleng-kaleng, setelah siaran langsung tersebut, terjadi lonjakan pengunjung yang cukup signifikan. Para seniman atau penikmat seni mulai membanjiri rumah Richard. Namun, yang menarik adalah sebagian besar pengunjung datang berbondong-bondong untuk melihat Galeri Kegagalan – layaknya kerumunan manusia yang memadati Museum Louvre hanya untuk melihat Monalisa. Galeri yang penuh dengan patung-patung buruk rupa tanpa bentuk tersebut bahkan menjadi trending topic di Twitter. Namun euphoria pengunjung akan Galeri Kegagalan harus berhenti.

        Tiga hari setelah wawancara tersebut, muncul berita yang lebih menghebohkan dari pada Galeri Kegagalan. Rumah Richard telah dirampok. Perampokan terjadi pada malam hari dan baru disadari oleh para petugas yang menjaga rumah saat sedang menyiapkan pembukaan galeri esok paginya. Mereka mengambil seluruh karya seni yang terdapat di Galeri Kegagalan. Perampokannya begitu sempurna, bahkan tidak ditemukan jejak dijital dari kamera pengawas. Tidak ada saksi mata, melainkan patung-patung yang tetap membisu. Bahkan Dewa Ares dan legenda pahlawan Hercules hanya membiarkan para perampok itu begitu saja tanpa perlawanan. Atlas? Ia bahkan tidak mampu berbuat apa-apa selain memikul bumi di punggungnya.

        Akibat dari perampokan yang terjadi, pameran seni Richard tutup lebih awal dari biasanya. Keadaan Richard lebih buruk lagi, dia terus mengurung diri di rumahnya, menolak seluruh wartawan yang datang untuk bertanya perihal kronologis kejadian. Richard seperti seseorang yang sedang patah hati atau bahkan lebih buruk. Ia kehilangan dirinya. Tubuhnya yang berisi, sekarang mulai nampak kurus dan lemah. Entah mengapa seluruh karya gagalnya begitu penting baginya. Seolah-olah itu adalah harga diri, rahasia, atau mungkin bagian terdalam dari jiwanya.

        Para pekerja di rumah Richard begitu khawatir dengan keadaan tuannya. Mereka menghubungi keluarganya dan memintanya untuk merehabilitasi Richard agar pulih kembali— Richard memiliki beberapa anak dan cucu dari hasil pernikahannya dulu. Namun, karena obsesinya terhadap seni patung, istrinya menggugat cerai dirinya di umur 35 tahun. Setelahnya, Richard hidup sendiri di istana megah miliknya, sementara anak-anaknya ikut dengan ibunya. Richard yang sudah pasrah dengan keadaan akhirnya mengikuti proses rehabilitasi. Akibat dari depresi berat yang dialaminya, ia harus menjalankan rehabilitasi 8 bulan lamanya, hingga akhirnya Richard dapat pulih kembali seperti sedia kala.

        Selama delapan bulan lamanya polisi terus berusaha untuk mengungkap insiden perampokan Galeri Kegagalan, namun semua nihil. Semua orang ramai membicarakannya di mana-mana. Beberapa influencer yang suka membahas kisah misterius, berusaha mencocokologikan segala hal guna menguak misteri tersebut. Bahkan sudah menjadi legenda masyarakat bahwa Richard bekerja sama dengan iblis. Konon katanya galeri kegagalan adalah karya-karya yang dipersembahkan untuk iblis. Jadi saat Richard membukanya untuk umum, iblis tersebut tidak terima dan mengambil seluruh patung di sana sebagai tanda perjanjian kerjasama telah berakhir. Oleh karena itu Richard menjadi gila. Begitulah reaksi masyarakat soal misteri perampokan Galeri Kegagalan.

        Richard sendiri menanggapi berita-berita tersebut–ia baru mengetahui semuanya setelah selesai rehabilitasi–dengan santai dan logis. “Saya hanya lengah malam itu dan sepertinya para perampok itu memang profesional. Sejauh ini  polisi belum menemukan petunjuk soal itu. Kita tunggu saja.” Jawabnya menanggapi pertanyaan dari salah satu wartawan yang memadati pekarangan rumah Richard. Namun sayangnya, misteri perampokan tersebut tidak pernah terungkap.

        “Apakah pak Richard akan kembali berkarya lagi setelah insiden tersebut?” Tanya salah satu wartawan lain.

        “Ya, saya rasa saya sudah kembali pulih dan siap untuk berkarya lagi.” Jawab Richard dengan penuh keyakinan.

        Richard benar-benar telah pulih dan kembali berkarya. Proyeknya sekarang adalah patung besar berukuran 2 meter. Selama tiga bulan lamanya ia fokus pada pemahatan karya seninya. Ia juga melarang media untuk meliput pembuatannya, karena ia ingin memberikan kejutan pada masyarakat setelah lama menghilang dari dunia. Hingga akhirnya tiga bulan berlalu dan Richard mendapat kesempatan untuk memamerkan patungnya pada salah satu acara televisi. Sebuah kejutan lainnya adalah pembawa acara tersebut ternyata adalah Sang Reporter yang mewawancarai Richard di siaran langsung sebelas bulan lalu.

        “Baiklah pak Richard, saya rasa setelah kita berbincang 30 menit lamanya, para pemirsa di rumah sudah tidak sabar untuk melihat kembali karya indah dari Bapak.” Ucap wanita yang masih setia dengan balutan lipstik dan sedikit rona merah tipis di pipi, kepada Richard dengan sesekali menatap ke arah kamera.

        Mereka berdua bangkit dari tempat duduk dan melangkah ke salah satu set yang telah diletakkan di tengahnya patung setinggi 2 meter. Patung tersebut ditutup dengan kain putih. Seketika lampu di studio mati, menyisakan lampu sorot untuk pembawa acara dan Richard, serta lampu-lampu kecil yang menyinari patung dari bawah, membuat suasana berubah menjadi lebih romantis dan dramatis.

        “Baiklah mari kita hitung mundur bersama-sama.” Pandu pembawa acara kepada seluruh penonton.

        3…2…1 SREETTT

        Kain putih penutup telah terbuka. Seluruh penonton terdiam sejenak. Di hadapannya telah nampak patung yang entah berbentuk apa. Apakah itu patung manusia, hewan mitologi, atau unsur alam lainnya? Patung tersebut sangat mirip dengan patung-patung di Galeri kegagalan, tidak, bahkan ini lebih buruk daripada itu. Bahkan Pembawa Acara kembali memasang muka yang sama seperti kala pertama dirinya melihat Galeri Kegagalan.

        “Saya memberi nama patung ini ‘Manusia dan Kesempurnaannya’.” Ucap  Richard membanggakan karyanya yang tidak berbentuk itu.

        Apa namanya? Manusia dan Kesempurnaannya? Sungguh, siapapun yang melihat itu tidak akan pernah tahu jika itu berbentuk manusia. Lalu kesempurnaan? Patung itu tidak  lebih dari bentuk kegagalan. Namun, Richard tetap tersenyum bangga memamerkannya. Ia juga mengatakan bahwa ini merupakan karya terbaik yang pernah dibuatnya. Pembawa acara masih menatap seniman di hadapannya dengan penuh keheranan. Hingga ia tersadar bahwa ia harus melanjutkan acara.

        “Beri tepuk tangan untuk karya pak Richard, Manusia dan Kesempurnaannya.” Pandu pembawa acara yang diikuti tepuk tangan dari seluruh penonton. Dengan rasa penasaran yang terus berputar di kepalanya, ia memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada Richard. “Saya penasaran satu hal, pak Richard. Kenapa anda memberi nama kesempurnaan pada patung ini, sedangkan kalau boleh jujur, bukankah patung ini lebih mirip dengan karya-karya bapak dari Galeri Kegagalan?”

        “Oh tidak. Saya adalah orang yang jujur dan apa adanya. Saya menamainya demikian karena memang begitulah yang saya lihat. Sempurna. Saya tidak melihat unsur kesalahan seperti karya-karya saya di Galeri Kegagalan.” Begitulah pernyataan Richard tentang karya terbarunya.

        Tentu saja wanita pembawa acara tidak pernah merasa puas dengan jawaban tersebut. Namun, ia berusaha untuk tetap professional. Hingga akhirnya, sesi acara berakhir dan karya ‘Manusia dan Kesempurnaannya’ kembali menjadi trending topic, layaknya Galeri Kegagalan. Masyarakat terbagi menjadi dua kubu: Satu kubu yang mengkritik habis-habisan karya tersebut. Seorang kritikus seni berpendapat jika karya tersebut bahkan tidak dapat dikategorikan sebagai seni abstrak. Sedangkan kubu lainnya memuja Manusia dan Kesempurnaannya. Mereka menyalahkan orang-orang yang mengkritik karya tersebut dengan berkata “Orang yang mengkritik karya Richard adalah mereka yang tidak mengerti tentang seni.”

        Richard sendiri tidak mengambil pusing soal pendapat-pendapat masyarakat. Ia tetap fokus dengan idealismenya sebagai seorang seniman. Setelahnya, Ia tidak pernah lagi membuat patung realis nan indah seperti sebelum ia direhabilitasi. Ia tetap berkarya dan menghasilkan puluhan patung yang memiliki konsep sama dengan Manusia dan Kesempurnaannya. Sebuah karya-karya yang tidak lebih dari bentuk kegagalan–namun sempurna bagi Richard.   

        -TAMAT-



Penulis: Muhammad Tsabbit Aqdam

Editor: Muhammad Rangga Argadinata


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak