Drama Putin dan Zelensky di Istanbul: Gagal bertemu, Gagal Berdamai?

 

Di tepi Bosphorus, tempat kekaisaran bertemu dan sejarah saling bersilang, dua pemimpin dunia yang bertikai, pada awalnya dijadwalkan akan duduk berdampingan. Dengan niat membawa momen damai antar kedua negara, sembari membuka babak baru dalam teater pergolakan global. Namun sampai tulisan ini dibuat, nyatanya mereka tak pernah bertemu. Vladimir Putin, sang penguasa Negeri Beruang Merah yang awalnya mengusulkan untuk mengadakan pertemuan langsung bersama Volodymyr Zelenskyy, Presiden Ukraina, membatalkan kedatangannya ke Istanbul, Turki (Kamis, 15 Mei 2025).

Pertemuan mereka berdua awalnya dilatar belakangi pasca pertemuan 5 pemimpin negara di Kyiv, Ukraina—Perdana Menteri Polandia Donald Tusk, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Friedrich Merz. Di mana pertemuan koalisi barat mendesak pihak Rusia untuk memulai gencatan senjata yang harus diberlakukan pada Senin, 18 Mei 2025 mendatang. Jika seruan ini tak diindahkan, maka pihak koalisi dari negara Ukraina akan memberikan sanksi berat terhadap Rusia. 

Salah satunya berupa ancaman dari Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, yang mengumumkan paket sanksi terbesar yang pernah dijatuhkan Inggris sejauh ini untuk Rusia. Sanksi ini secara khusus menargetkan jaringan ekspor minyak Rusia, terutama melalui pemblokiran sekitar 100 kapal tanker tua yang tergolong dalam “armada bayangan Rusia”—kapal-kapal yang diyakini beroperasi di luar sistem asuransi legal dan pengawasan Barat, serta digunakan Moskow untuk menghindari pembatasan Internasional yang diberlakukan terkait invasi besar-besaran militer Rusia ke Ukraina.

Menjawab seruan ini, seperti yang dikutip dari instagram resmi Kremlin, bahwa Putin menyarankan agar otoritas Kyiv tetap melanjutkan perundingan yang sempat terhenti pada 2022 lalu di tempat yang sama. Di mana pada minggu-minggu awal konflik terjadi, kedua negara sempat berunding di Istanbul, untuk menghentikan pertempuran yang tengah berkecamuk. Selain itu, Putin juga menekankan bahwa dia ingin memulai negosiasi tanpa prasyarat apapun dan berkomitmen untuk melakukan negosiasi dengan pihak Kyiv, serta menginginkan adanya pembicaraan untuk  menghilangkan akar penyebab konflik dan membangun perdamaian jangka panjang. 

Tetapi seperti yang saya sebutkan di awal, Vladimir Putin tidak datang menghadiri perundingan langsung bersama Zelenskyy di Istana Dolmabahce, Istanbul. Pihak Kremlin mengonfirmasi di jam-jam terakhir, bahwa mereka akan mengirim delegasi yang dipimpin  oleh ajudan Kremlin, Vladimir Medinsky. Menanggapi berita tersebut, Zelenksyy menegaskan bahwa dirinya tidak ingin bertemu pihak Rusia, sampai bertemu dengan Putin langsung. Sebagai balasan, Ukraina mengirim delegasi setingkat yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan, Rustem Umerov.

Dengan absennya Putin di Istanbul, saya memandang bahwa Rusia masih enggan meletakkan senjata atas perang dengan Ukraina. Bahkan sampai waktu perundingan delegasi kedua negara di hari selanjutnya, Rusia masih melaporkan bahwa pihaknya baru saja menguasai dua pemukiman dan beberapa wilayah strategis di Ukraina. 

Ketidakhadiran Putin bukan sekadar momen diplomatik, melainkan sebuah pesan simbolik. Bagi sebagian pihak, ini bisa ditafsirkan sebagai sinyal dingin dari Moskow atas peta damai yang ditawarkan koalisi Barat. Namun kita juga harus membaca peristiwa ini tidak secara hitam-putihnya saja. Ketidakhadiran bukanlah penolakan mutlak; mengirim delegasi tetaplah bentuk partisipasi dalam jalur diplomasi, meskipun dengan bahasa politik yang hati-hati.

Rusia seperti enggan menerima ajuan gencatan senjata, karena syarat yang diinginkannya masih belum dapat dipenuhi. Rusia tetap berpegang teguh atas syarat  tuntutan lamanya: pengakuan atas wilayah-wilayah yang telah dianeksasi, penolakan Ukraina untuk ikut dalam keanggotaan NATO, serta berkomitmen untuk bersikap netral secara permanen. Dan yah, Ukraina tentu saja menolak keras syarat-syarat tersebut dan meminta Moskow menyerah secara sepihak. 

Dengan dua posisi sekeras itu, maka perundingan yang berlangsung di hari selanjutnya, Jumat (16 Mei 2025), masih belum menunjukkan hasil nyata dan kejelasan tentang gencatan senjata ataupun akhir dari pertempuran. Walaupun ada beberapa kesepakatan yang dinegosiasikan, seperti rencana kedua pihak yang akan menukar 1000 tawanan perang masing-masing dalam waktu dekat (belum menentukan tanggal pasti), namun bisa dibilang, pertemuan ini hanya menjadi tontonan negosiasi belaka.  Sebab, baik dari kedua pihak dan beberapa negara yang mengambil peran dalam pertemuan ini—seperti Amerika Serikat dan tentunya Turki—merasa skeptis dan tidak dapat menentukan kemajuan langkah apapun, dikarenakan tokoh utama dari peperangan tersebut tidak hadir (Putin dan Zelenskyy). 

Namun yang perlu kita garis bawahi adalah bagaimana sikap ErdoÄŸan dan Turki—di tengah konflik internal antar beberapa koalisi dalam negeri dan juga dunia yang retak oleh konflik—yang tetap berusaha memainkan kembali satu peran lama yang kerap dilupakan: menjadi jembatan sekaligus mediator di garis patahan peradaban. Dengan Istanbul sebagai panggung simbolis, tempat di mana masa lalu Bizantium, khilafah, dan Republik modern bertemu, Turki menaruh dirinya di tengah pusaran dua dunia yang saling bertolak—Barat dan Timur. Lewat undangan damai ini, ErdoÄŸan berusaha menghidupkan kembali posisi geopolitik Turki, bukan hanya sebagai negara penengah, tapi sebagai penyeimbang kekuatan global yang tak lagi stabil.

Bahwa pertemuan ini gagal, tak bisa dimaknai secara simplistik sebagai kegagalan diplomatik. Ini adalah tanda bahwa dunia belum siap untuk berdamai. Bahwa arsitektur kekuasaan global masih sulit menjawab pertanyaan lama: siapa yang berhak bicara atas nama perdamaian? Karena pada kenyataannya, dunia hari ini tak hanya retak di Ukraina. Di belahan bumi lain, bom terus meledak di Rafah, peluru-peluru tak kunjung berhenti di Gaza, dan pertempuran antara India-Pakistan kian memanas. Dan jika kita menilik baik-baik, ada pola berulang yang muncul dalam setiap konflik ini: ego kekuasaan, kelambanan diplomasi, dan keengganan untuk saling mendengar.

Pertanyaan yang perlu kita ajukan hari ini bukan hanya “mengapa mereka gagal bertemu?”, tapi “mengapa pertemuan-pertemuan damai selalu gagal?”. Mengapa manusia—yang katanya makhluk beradab—tak pernah bisa menundukkan nafsu kuasa dengan kebijaksanaan?

Mari kita tarik benang merah yang lebih besar: Rusia dan Ukraina adalah representasi dari benturan geopolitik klasik; tapi Gaza dan Rafah adalah cermin dari luka kolonialisme yang belum sembuh; dan konflik India–Pakistan adalah sisa panas dari perpisahan yang terlalu terburu-buru, terlalu dipaksakan oleh tangan kekuasaan imperial. Dunia hari ini bukan sekadar menghadapi konflik militer, tapi krisis moral. Kita telah kehilangan etika perdamaian.

Istanbul menjadi panggung dari sebuah drama yang belum usai. Dan jika pun perdamaian hari ini belum menemukan naskahnya, setidaknya kita tahu bahwa masih ada mereka yang bersedia menyediakan panggung. Masih ada upaya untuk bicara. Dan selama masih ada yang bersedia mendengarkan, sejarah selalu punya peluang untuk ditulis ulang.

Di tengah dunia yang dikendalikan oleh kekuatan besar, Konstantinesia menolak menjadi suara yang tenggelam dalam kebisingan. Ketika peta dunia hanya membelah antara Barat dan Timur, kami berdiri di tengahnya—bukan sebagai pengamat pasif, tetapi sebagai salah satu perumus arah ketiga: arah yang tidak ditentukan oleh kekuatan militer atau aliansi ekonomi, melainkan oleh keberanian untuk membayangkan dunia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih masuk akal.

Sumber: CBS Evening News

Istanbul hari ini memang gagal menjadi saksi pertemuan Putin dan Zelensky. Tapi justru di kegagalan itulah kita melihat sesuatu yang lebih jujur: bahwa perdamaian tidak gagal karena tempat, melainkan karena cara berpikir kita tentang kekuasaan yang tak pernah berubah. Bahwa selama dunia masih  dipimpin oleh logika “menang atau kalah”, maka meja perundingan hanya akan menjadi panggung pencitraan belaka.

Namun kami percaya—damai tidak akan datang dari mereka yang paling bersenjata, melainkan dari mereka yang paling bersedia mendengar.

Dan selama masih ada satu bangsa, satu ruang, satu tempat yang bersedia menjadi jembatan—seperti yang coba dilakukan Turki hari ini— maka harapan belum mati. Ia mungkin lemah, tapi belum padam.

Konstantinesia berdiri di pihak mereka yang tidak lelah berharap. Yang percaya bahwa sejarah tidak harus selalu ditulis oleh pemenang, tetapi bisa juga oleh mereka yang berani berkata, “Peradaban sejati bukan tentang siapa yang menaklukkan, tapi siapa yang mampu membangun kembali dan bisa menyembuhkan.”

Dan selama kata-kata masih bisa melawan peluru, selama tulisan masih mampu menyaingi propaganda, dan selama ada ruang untuk menyusun makna dari reruntuhan dunia, kami akan terus berusaha menulis.



Penulis: Muhammad Rangga Argadinata

Editor: Muhammad Tsabbit Aqdam

1 Komentar

  1. Pemilihan katanya bagus dan tidak membosankan ketika dibaca. Kereen

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak