Kamis dini hari, 09 Oktober 2025, udara dingin menyelimuti kota resor Sharm el-Sheikh di pesisir Laut Merah, Mesir. Di tengah penjagaan ketat, pertemuan tertutup antara delegasi Israel Penjajah, Hamas, dan para mediator internasional berlangsung, dalam agenda kesepakatan gencatan senjata di Gaza, setelah bertahun-tahun pasca genosida yang dilakukan Israel Penjajah.
Israel Penjajah diwakili oleh Gal Hirsch, koordinator urusan pembebasan sandera; penasihat politik luar negeri Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Ophir Falk; serta sejumlah pejabat dari dinas intelijen Mossad dan Shin Bet. Dari pihak Hamas, delegasi dipimpin oleh pejabat senior Khalil al-Hayya.
Negosiasi ini dimediasi oleh beberapa pihak, seperti Mesir yang dalam hal ini menjadi mediator utama dan tuan rumah. Dan Mayor Jenderal Ahmed Abdel Khaleq, wakil pertama Kepala Badan Intelijen Umum Mesir Abbas Kamel, tampil sebagai salah satu tokoh kunci di balik meja perundingan. Selain Mesir, hadir pula Mohammed bin Abdulrahman (Perdana Menteri Qatar), Ibrahim Kalin (Kepala Intelijen Turki), serta delegasi dari Amerika Serikat yang dipimpin oleh Steve Witkoff (Utusan Khusus Amerika Serikat untuk Urusan Timur Tengah) dan Jared Kushner (Penasihat Senior sekaligus menantu Donald Trump).
Sumber: VOA Indonesia |
Rencana gencatan senjata ini, merupakan lanjutan agenda dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pasca pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Penjajah, Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Washington DC, Senin 29 September 2025 lalu. Trump mengumumkan 20 poin rencana, yang diberi nama "Comprehensive Plan to End the Gaza Conflict” atau rencana komprehensif untuk mengakhiri konflik Gaza, Palestina.
Menurut laporan Financial Times dan Reuters, kesepakatan awal memuat empat komitmen utama. Hamas akan menyerahkan 48 sandera warga Israel Penjajah, di mana sekitar dua puluh masih hidup, sementara Israel Penjajah membebaskan dua ribu tahanan Palestina, termasuk dua ratus lima puluh yang dihukum seumur hidup. Pasukan Israel Penjajah juga ditarik secara bertahap dari Gaza utara menuju zona penyangga “Yellow Line.” Selain itu, koridor aman untuk bantuan kemanusiaan dibuka, dengan pengawasan tim multinasional yang juga melibatkan Turki. Fase berikutnya akan membahas isu demiliterisasi, status politik Gaza, dan rekonstruksi wilayah.
Krisis Kemanusian Gaza: Potret Luka Terbuka
Sebelum gencatan diumumkan, Gaza telah menjadi simbol krisis kemanusiaan paling parah dalam dua dekade terakhir:
- 67.000+ warga Palestina tewas, termasuk 27.000 anak-anak.
- 2 juta warga mengungsi, mayoritas tinggal di tenda atau reruntuhan.
- 280+ kematian akibat kelaparan, menurut laporan Integrated Food Security Phase Classification (IPC) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
- 90% rumah sakit rusak atau lumpuh total.
Sistem air bersih runtuh, sekolah-sekolah hancur, dan ekonomi Gaza praktis tak lagi berjalan. Inilah latar belakang mengapa gencatan senjata sangat dinanti, meski rapuh.
Turki Ikut Andil dalam Kesepakatan Gencatan Senjata
Turki telah lama menjadi salah satu negara paling vokal yang menentang kebijakan militer Israel Penjajah di Palestina. Turki pun ikut dalam pertemuan para diplomat senior dari Eropa, dunia Arab, dan negara mitra lainnya, di Paris, beberapa hari sebelum pengumuman Gencatan Senjata di Gaza.
Lalu melalui jalur intelijen dan diplomasi tingkat tinggi, Turki juga ikut andil komunikasi langsung terkait gencatan senjata dengan berbagai pihak, termasuk; Hamas, Israel Penjajah, dan mediator utama lainnya seperti Qatar dan Mesir.
Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Turki: “Turkey welcomes the establishment of a ceasefire will bring an end to the genocide that has continued for the past two years. Turkey will continue to provide substantial humanitarian aid to Gaza in the period ahead.” - Ministry of Foreign Affairs Of Turkey, Statement No. 204 (9 Oktober 2025).
Sumber: hurriyetdailynews.com |
Lebih lanjut, Presiden Turki, Recep Tayyip ErdoÄŸan secara terbuka mengimbau Israel Penjajah agar tidak mengambil langkah-langkah yang bisa “sabotase” proses perdamaian, serta mendesak agar komitmen Israel Penjajah dipertahankan.
ErdoÄŸan juga menyatakan bahwa, Turki akan bergabung dalam Task Force Internasional untuk memantau pelaksanaan perjanjian di lapangan. Dengan demikian, Turki memasuki ruang pengawasan bukan hanya sebagai “penonton”, tapi sebagai aktor aktif. Turki pun mengecam perluasan operasi militer Israel Penjajah, sebagai pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan dan hukum internasional. Dalam konteks itu, Turki meminta agar Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengikat agar Israel Penjajah tidak melampaui batas.
Sejauh ini, kesepakatan baru mencakup sebagian dari dua puluh poin rencana perdamaian yang diumumkan Trump. Namun, sejumlah isu besar masih belum terselesaikan. Salah satu yang paling sensitif adalah soal pelucutan senjata Hamas. Kelompok Hamas disebutkan, masih menolak rencana itu, sebelum ada kepastian tentang berdirinya negara Palestina yang merdeka, sementara Israel Penjajah, diduga masih menuntut jaminan keamanan mutlak sebelum penarikan pasukan dilakukan.
Isu lain yang masih menjadi tanda tanya adalah mengenai pemerintahan Gaza pasca gencatan senjata. Trump menyebut bahwa Hamas tidak akan memiliki peran di wilayah itu, dan pemerintahan sementara akan dijalankan oleh “komite teknokrat Palestina yang apolitis” sebelum akhirnya diserahkan kepada Otoritas Palestina. Namun hingga kini, Perdana Menteri Israel Penjajah, Benjamin Netanyahu, belum menunjukkan persetujuan terhadap gagasan itu. Faksi sayap kanan dalam koalisinya bahkan menginginkan pembangunan kembali permukiman Yahudi di Gaza, sementara Hamas tetap bersikeras untuk tetap berperan dalam pemerintahan masa depan.
Di sisi lain, Gaza yang luluh lantak masih menghadapi pertanyaan besar soal rekonstruksi. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyerukan dukungan penuh bagi pelaksanaan kesepakatan ini, termasuk peningkatan bantuan kemanusiaan dan upaya pembangunan kembali wilayah tersebut. Namun tantangannya tetap besar; dari sumber pendanaan hingga risiko korupsi dan tarik-menarik kepentingan antar faksi.
Gencatan Senjata Diuji: Tewasnya Jurnalis Saleh Al-Jafarawi
Namun, di tengah euforia kesepakatan gencatan senjata yang ditunggu-tunggu, realitas di Gaza dengan cepat kembali menampakkan kerapuhannya. Hanya berselang dua hari setelah pengumuman kesepakatan, kabar duka datang dari Kota Gaza, menegaskan bahwa gencatan senjata masih merupakan garis yang sangat tipis antara hidup dan mati.
Sumber: Tribunnews.com |
Saleh Al-Jafarawi, seorang jurnalis, aktivis, dan influencer Palestina yang vokal dalam mendokumentasikan krisis kemanusiaan di Gaza, dilaporkan tewas pada Minggu, 12 Oktober 2025. Al-Jafarawi, dikenal sebagai ‘Mr. FAFO’ dan memiliki jutaan pengikut di sosial media dan kerap menjadi target propaganda yang menyebutnya sebagai “aktor krisis”. Laporan terbaru menunjukkan bahwa Al-Jafarawi diculik dan ditembak mati oleh kelompok milisi atau klan Gaza yang bersekutu dengan Israel Penjajah.
Wafatnya Mr FAFO ini, yang menambah panjang daftar jurnalis Palestina yang tewas (telah mencapai lebih dari 250 orang), adalah ujian pertama bagi Task Force Internasional, termasuk Turki, yang telah berjanji untuk memantau implementasi kesepakatan. Momen ini menuntut perhatian internasional yang lebih ketat terhadap setiap detail kekerasan yang terjadi, agar gencatan senjata tidak hanya menjadi kata-kata di atas kertas.
UPDATE: 13 Oktober 2025 — Puncak Diplomasi di Sharm el-Sheikh
Senin, 13 Oktober 2025, menjadi babak baru bagi gencatan senjata Gaza–Israel Penjajah. Di Sharm el-Sheikh, Presiden AS Donald Trump tiba bersama para pemimpin dunia, termasuk Presiden RI Prabowo Subianto dan Sekjen PBB António Guterres. Dalam konferensi pers, Trump berkata singkat: “Perang telah berakhir, faham?”
Dokumen perdamaian resmi ditandatangani oleh Trump, Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi, Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad Al Thani, dan Presiden Turki Recep Tayyip ErdoÄŸan—menegaskan posisi Turki sebagai penjamin utama bersama tiga negara lainnya. ErdoÄŸan menjadi simbol peran aktif Turki yang telah dimulai sejak 9 Oktober lewat koordinasi intelijen oleh Ibrahim Kalın.
Sementara itu, Netanyahu absen dari KTT, menandakan enggan mengakui sepenuhnya berakhirnya perang. Meski begitu, pertukaran dua ribu tahanan Palestina dan dua puluh sandera Israel Penjajah dinyatakan rampung. Trump pun mengumumkan dimulainya Fase Kedua negosiasi yang akan membahas pelucutan senjata, pemerintahan Gaza, dan proses rekonstruksi.
Penutup
Jabat tangan kesepakatan di dini hari 9 Oktober 2025 itu, bukanlah akhir cerita. Ia mungkin menjadi simbol awal bahwa pintu dialog masih terbuka, meskipun jalannya berat dan rapuh, sebagaimana ditunjukkan oleh gugurnya jurnalis Saleh Al-Jafarawi. Turki, dengan sikapnya yang lantang dan aktif, menegaskan bahwa perdamaian Gaza tak boleh hanya menjadi wacana.
Dan untuk Sobat Miko, peristiwa ini mengingatkan kita bahwa konflik global seperti ini selalu kompleks dan penuh lapisan kepentingan. Dalam gesekan kekuasaan, diplomasi dan sikap negara seperti Turki, menunjukkan bahwa ada kekuatan moral dan strategis yang bisa bergerak dari ruang diplomasi. Namun, hilangnya nyawa seorang jurnalis di tengah gencatan senjata menunjukkan bahwa harapan perdamaian adalah proses yang menyakitkan, berdarah, dan membutuhkan pengawasan tiada henti. Semoga momentum ini benar-benar menjadi awal baru bagi kebebasan hak manusia di Palestina, bukan gerbang yang hanya terbuka sementara.
Penulis: Muhammad Rifal Dzakhwan
Editor: Muhammad Rangga Argadinata