32 Rute Baru Penerbangan dan Proyek Alutsista Besar dalam Lanjutan 75 Tahun Hubungan Bilateral Turki–Indonesia

            Istanbul, 24 Oktober 2025. Pemerintah Indonesia dan Turki resmi menandatangani kesepakatan baru yang memperluas kerja sama penerbangan sipil setelah dua hari pembahasan intensif di Sivil Havacılık Genel MĂĽdĂĽrlüğü (SHGM), Istanbul. Di permukaannya, perjanjian ini terlihat teknis, hanya soal peningkatan frekuensi dan penambahan rute penerbangan. Namun di baliknya, terdapat arah baru hubungan dua negara yang kini makin dalam, menyatukan langit, perdagangan, dan pertahanan dalam satu jembatan strategis antara Eurasia dan Nusantara.

            Kesepakatan ini merupakan tindak lanjut dari forum High Level Strategic Cooperation Council (HLSC) antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Recep Tayyip ErdoÄźan di Istana Bogor pada 12 Februari 2025 lalu. Dari forum itu lahir tiga fokus utama, yaitu perdagangan, penerbangan, dan pertahanan. Delapan bulan kemudian, kedua negara resmi memperbarui perjanjian udara yang terakhir ditinjau pada 2010 silam. Frekuensi penerbangan reguler meningkat dari 14 menjadi 32 kali per minggu.

Source: CNN Indonesia

            Rinciannya, Turkish Airlines dan maskapai Turki lain mendapat izin 11 kali penerbangan ke Jakarta, 14 ke Denpasar Bali, dan 7 ke bandara lain di Indonesia. Sementara Indonesia menambahkan delapan kota ke jaringan udara bilateral, yakni Yogyakarta, Majalengka, Manado, Medan, Balikpapan, Sorong, Kediri, dan Lombok. Di sisi Turki, dua kota baru Izmir dan Bodrum melengkapi rute İstanbul, Ankara, dan Antalya.. Ini menjadikan Indonesia salah satu mitra penerbangan terbesar Turkish Airlines di Asia Tenggara.

            Dalam pernyataan resminya, SHGM menyebut pembaruan ini sebagai langkah strategis setelah lima belas tahun, diharapkan menciptakan momentum besar di sektor transportasi udara, turisme, dan perdagangan. Ankara menegaskan kesepakatan ini sejalan dengan langkah serupa yang telah mereka tandatangani bersama Tiongkok, Korea Selatan, Australia, Thailand, dan Singapura. Tujuannya bukan sekadar meningkatkan wisatawan, tapi meneguhkan posisi Turki sebagai pusat penerbangan regional di kawasan Asia Pasifik. Media Turki bahkan menyebutnya “TĂĽrkiye’nin bölgesel havacılık merkezi olma hedefi doÄźrultusunda stratejik adım” atau langkah strategis menuju status pusat penerbangan dunia Timur.

            Bagi Turki, kerja sama dengan Indonesia adalah bagian dari peta besar diplomasi udara global mereka. Selama dua dekade terakhir, Turkish Airlines menjadi alat diplomasi ekonomi paling efektif Ankara. Dari Balkan ke Afrika, dari Asia Tengah hingga Asia Tenggara, jaringan udara digunakan sebagai perpanjangan tangan soft power Turki. Perjanjian dengan Indonesia ini memperluas jangkauan itu lebih jauh ke Pasifik, menjadikan Jakarta dan Bali simpul baru antara ASEAN dan Eropa. Media lokal seperti AirportHaber menyebut kesepakatan ini akan “membuka sayfa baru hubungan penerbangan dua negara,” terutama karena kapasitas besar di rute Bali dan Jakarta yang dianggap strategis baik secara pariwisata maupun logistik.

Source: Antara News Gorontalo

            Namun bagi Indonesia, maknanya lebih dari sekadar peningkatan rute. Dalam sebuah wawancara di Jakarta pada 26 Oktober, Direktur Angkutan Udara Kemenhub, Agustinus Budi Hartono, menegaskan bahwa kesepakatan ini melahirkan dua dokumen penting untuk memperkuat dasar hubungan udara dua negara. Ia menyebut peningkatan kapasitas dari 14 ke 32 penerbangan per minggu sebagai langkah strategis untuk memperluas konektivitas dan membuka peluang rute baru di luar Jakarta dan Denpasar. Indonesia bahkan memperkenalkan dua klausul penting: aturan codeshare lintas maskapai yang memungkinkan kerja sama dengan pihak ketiga, dan pasal unutilized entitlement yang memungkinkan hak terbang yang tidak digunakan disewakan ke pihak lain melalui kesepakatan komersial.

            Dalam skema codeshare ini, satu penerbangan bisa dipasarkan bersama oleh dua maskapai berbeda, memperluas jangkauan rute tanpa menambah pesawat. Secara bisnis ini efisien, tetapi secara geopolitik, membuka ruang dominasi bagi maskapai besar seperti Turkish Airlines yang memiliki lebih dari 450 armada dan melayani 129 negara. Bandingkan dengan Garuda Indonesia yang kini mengoperasikan kurang dari seratus pesawat dan hanya menjangkau Asia dan Timur Tengah. 

            Turkish Airlines juga berkomitmen mempromosikan destinasi Indonesia di pasar Eropa dan Timur Tengah, termasuk Bali dan Lombok, dengan target dua juta wisatawan asing pada 2026. Pemerintah melihat momentum ini sebagai cara memperkuat konektivitas sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi pilot dan awak kabin Indonesia.

            Di balik semua angka itu, yang paling penting adalah konteksnya. Defisit perdagangan Indonesia–Turki pada 2024 mencapai dua miliar dolar. Ekspor Indonesia hanya 1,2 miliar dolar yang didominasi sawit, karet, kopi, dan tekstil sederhana. Sebaliknya, impor dari Turki menembus 3,2 miliar dolar, terutama baja, mesin industri, bahan kimia, dan produk manufaktur bernilai tinggi. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi bilateral masih berat sebelah. Tanpa kebijakan khusus, kerja sama udara ini bisa memperbesar defisit, menjadikan Indonesia sekadar pasar turis dan produk Turki.

Source: Fortune Turkey

            Potensi ekonomi sebenarnya besar. Dengan jalur baru, Indonesia berpeluang menembus pasar Eropa Timur lebih cepat. Melalui kargo Turkish Airlines, produk seperti kopi Gayo, batik Pekalongan, tenun Lombok, dan hasil perikanan olahan bisa dikirim langsung ke Istanbul dan diteruskan ke Eropa dalam waktu separuh dari pengiriman laut biasa. Tapi agar itu terjadi, pemerintah harus menyiapkan insentif ekspor udara, tarif logistik khusus, dan skema kolaborasi antara Turkish Airlines dan Garuda Indonesia. Tanpa kebijakan tarif preferensial dan pengawasan rute, yang tumbuh hanya dominasi maskapai asing.

            Turki melihat kerja sama ini bukan sekadar ekonomi, tapi bagian dari kebijakan luar negeri jangka panjang. Di bawah ErdoÄźan, Ankara menghidupkan kembali semangat neo-Ottomanisme, yaitu ambisi mengembalikan pengaruh geopolitik lintas kawasan. Lewat jaringan udara, industri pertahanan, dan diplomasi ekonomi, Turki memperluas cengkeramannya dari Suriah dan Libya hingga Kaukasus dan Gaza. Di Timur Tengah, pasukan Turki aktif di utara Suriah dan Libya. Di Kaukasus, Ankara mendukung Azerbaijan dalam perang Nagorno-Karabakh. Di Gaza, Turki tampil sebagai mediator gencatan senjata, sementara di NATO, mereka memainkan posisi abu-abu antara Barat dan Rusia. Kesepakatan udara dengan Indonesia adalah perpanjangan logis dari strategi itu, menjangkau Asia Tenggara yang belum tersentuh secara langsung oleh kekuatan Barat.

            Di sisi lain, hubungan pertahanan antara dua negara makin erat. Setelah kerja sama Baykar untuk produksi drone TB3 dan Akinci senilai 1,2 miliar dolar, pada Maret 2025 Indonesia juga meneken kontrak pembelian 48 jet tempur KAAN buatan Turkish Aerospace senilai 10 miliar dolar. Pemerintah menyebut proyek ini sebagai langkah menuju kemandirian alutsista, tapi tekanan fiskalnya besar. Dengan anggaran pertahanan 155 triliun rupiah atau 4,2 persen dari APBN 2025, tambahan pembelian ini bisa mempersempit ruang fiskal. Apalagi jika transfer teknologi hanya sebatas perakitan. Maka model TOT (Transfer of Technology) perlu meniru pola Korea Selatan, di mana teknisi lokal terlibat dalam desain dan pengembangan, bukan hanya perakitan. Pemerintah juga bisa menjadikan Kalimantan sebagai basis pelatihan drone dan pengembangan logistik udara terintegrasi dengan Ibu Kota Nusantara.

            Hubungan udara dan pertahanan ini membawa implikasi besar bagi posisi Indonesia di ASEAN. Dengan 32 penerbangan per minggu dan kota-kota baru di jaringan internasional, Indonesia punya peluang menyaingi dominasi Singapura sebagai hub penerbangan kawasan dan Malaysia dalam ekspor manufaktur. Tapi agar itu terjadi, pemerintah harus memperkuat bandara seperti Kertajati dan Lombok sebagai pusat kargo udara, serta memastikan Garuda dan maskapai lokal punya peran dalam rute baru. Setiap jalur penerbangan baru bisa membuka ribuan lapangan kerja di sektor logistik, Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO), dan pariwisata. Kemenhub memperkirakan ekspansi Turkish Airlines saja akan menyerap 3.000 tenaga kerja baru, mulai dari teknisi, awak kabin, hingga petugas bandara.

            Namun di balik peluang itu, ada risiko nyata ketergantungan teknologi dan ketidakseimbangan ekonomi. Turki datang dengan modal besar, pengalaman militer, dan visi global. Indonesia datang dengan potensi pasar dan posisi strategis. Tanpa strategi nasional yang kuat, jembatan Eurasia–Nusantara ini bisa berubah menjadi koridor dominasi baru. Karena itu, pengawasan transfer teknologi, skema kerja sama industri, dan arah diplomasi ekonomi harus benar-benar dijaga. Indonesia bisa memanfaatkan Turkish Airlines sebagai mitra ekspor UMKM, tapi tetap memastikan kontrol rute dan infrastruktur dipegang oleh negara sendiri.

            Turki sudah lama mengerti makna menjadi penghubung antar peradaban. Dari Konstantinopel hingga Istanbul, mereka mengelola pengaruh tanpa kehilangan arah. Indonesia, dengan 17 ribu pulau dan posisi di jantung Asia Tenggara, punya kesempatan serupa. Kesepakatan udara dan pertahanan 2025 ini bisa menjadi batu loncatan menuju kemandirian ekonomi dan pertahanan, asal tidak kehilangan kendali atas langit sendiri.

            Ketika nantinya, pesawat pertama Turkish Airlines lepas landas dari Kertajati menuju Istanbul akhir tahun ini, dunia mungkin melihatnya sebagai simbol keterhubungan baru antara dua bangsa besar. Tapi bagi Indonesia, itu seharusnya juga jadi pengingat. Langit yang terbuka bukan hanya ruang ekonomi, tapi arena politik, strategi, dan kedaulatan. Dalam sejarah peradaban, jembatan selalu menghubungkan dua daratan, tapi hanya bangsa yang cerdas yang tahu di sisi mana ia ingin berdiri.



Penulis: Muhammad Rangga Argadinata

Editor: Muhammad Tsabbit Aqdam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak